Minggu, 20 November 2011

Ulang Tahunku

Tak ada yang terlalu istimewa dari perayaan ulang tahunku kali ini. Sebenarnya memang tak berharap banyak, tapi si Rara yang memproklamirkan diri sebagai orang yang suka memberi dan menerima hadiah, jauh-jauh hari sudah menghitung hari, tak sabar menunggu tanggal 15.

"Ada kejutan untuk Mama," katanya dengan mata berbinar-binar.



Aku tersenyum.

Namun pas hari H, tak seorang pun di rumah yang ingat kalau itu hari ulang tahunku. Aku ingat tapi tak terlalu ambil pusing. Pasalnya, banyak hal yang menyita perhatian, menu hari itu, cucian yang banyak, batuk yang sedang parah-parahnya, ah, mana pula kepikir soal ulang tahun?

Tapi sms masuk dari seorang teman, Imel Boim, yang mengucapkan selamat ulang tahun. Ujung-ujungnya, ngajak karaokean. Ia memang satu dari sedikit temanku yang suka nyanyi di tempat karaoke. Suaranya keras, berat dan tak bisa diajak duet. Bukan apa-apa, suara yang lain langsung 'tenggelam' oleh kekuatan vokal Imel. Jadi backing vokal pun tak bisa. Hehehe... peace Mel..

Ketika sore aku sudah berada di kantor, masuk sms dari Rara. "Selamat ulang tahun Mama... Mama pasti lupa kalau sekarang ulang tahun kan?" tebaknya. "Ingat, tapi Rara yang lupa, jadi Mama diam saja," balasku.

Lalu di facebook, ucapan selamat masuk dari mana-mana. Juga dari beberapa teman kantor, Desi dan Santi, mengucapkan selamat. Tapi aku harus buru-buru ikut rapat, jadi tak sempat salaman. Salamannya kami lakukan keesokan harinya.

Maghrib aku sempatkan pulang ke rumah, untuk makan malam. Kebetulan tugas di kantor sedikit ringan, jadi bisa ditinggal. Masih tak ada yang istimewa di rumah. Si Tata mengucapkan selamat, si Abang mengucapkan selamat dan Rara juga. Tapi tak ada menu spesial di atas meja.

Keesokan harinya, aku minta izin sama suami, untuk mengajak makan siang beberapa orang teman ke rumah. Di kulkas masih ada daging kurban yang lumayan banyak. Sayang kalau disimpan terlalu lama. Mending itu dimanfaatkan. Aku memilih hari Sabtu, karena hari itu aku libur.

Jumat siang, aku ambil dari kulkas sebongkah besar daging yang nyaris tanpa lemak. Aku sayat tipis lalu dilumuri ketumbar halus dicampur garam dan bawang putih. Itu resep dendeng dari Papaku. Kepandaian menyayat daging hingga menjadi lembaran tipis itu, aku peroleh juga dari Papa yang memang menyuka dendeng. Selain itu, mungkin ini juga bakat kultural sebagai keturunan orang Koto Anau, Solok, yang sebagian
besar memang berprofesi sebagai tukang daging, hahaha...

Oke, lanjut ke dendeng. Aku memasak dendeng secara praktis. Yaitu, setelah daging dibumbui, direbus hingga empuk. Sementara Papaku suka membuat dendeng dengan cara dijemur setelah dibumbui. Cara ini lebih makan waktu dan sangat bergantung pada sinar matahari. Tapi hasil keduanya hampir sama. Dendeng yang dikeringkan di terik matahari juga awet untuk disimpan lama. Bedanya, dendeng yang dikeringkan kalau
digoreng lebih garing kriuk-kriuk.

Keesokan harinya, aku sibuk mengurus ini itu. Anak-anak membantu sekedarnya. Beberapa orang teman yang diundang, menyempatkan diri untuk datang, sementara yang lain minta maaf tidak bisa hadir. That's fine...

Kami berempat di rumah itu penyuka dendeng. Tidak heran, Rara nambah tiga kali makan siang itu sedangkan Tata empat kali. Dendeng sekilo punah dalam sehari. Alhamdulillah juga, para tamu suka dendengnya. Kepuasan terbesar tukang masak tentu tak lain adalah bila melihat makanan yang dibuatnya disukai orang.

Malam harinya, aku dan anak-anak meminjam VCD The Spy Next Door, Pan's Labyrinth dan X-Men First Class. Dua film pertama sudah kami pinjam sebelumnya dan anak-anak masih ingin menontonnya.

Tapi untuk menontonnya terpaksa harus merayu si Papa dulu yang sedang menyaksikan pertandingan sepakbola antara Indonesia-Vietnam. Televisi kami hanya satu dan sekarang, sedang dikuasai si Papa.

Babak pertama yang cukup mendebarkan, dilewati dengan iringan rengekan dan rayuan si Tata.

"Pa, bolehlah kami nonton VCD..."

"Pa, please Pa..."

Kulit kuaci dan es krim berserakan di karpet.

"Manalah enak nonton bola sendirian di rumah?" aku mengompori. "Tadi kami liat di RM Rajawali 2000 sudah ramai orang mau nonton bola. Bayangkanlah serunya teriak-teriak kalau gol."

"Iya Pa, kami liat tadi jalanan jadi macet karena banyak yang parkir di pinggir jalan," sambung si Rara.

Tata sudah terkantuk-kantuk dan sepertinya pasrah tidak jadi nonton The Pan's Labyrinth malam itu. Untunglah, si Papa akhirnya mengalah dan memilih 'mengungsi' entah kemana saat istirahat setelah habis babak pertama.

"Papa kasi waktu 15 menit ya!" katanya sebelum berlalu.

Kami kegirangan dan langsung memutar film yang bersetting waktu Perang Dunia I di pedesaan Spanyol itu. Sebenarnya dalam titelnya disebutkan bahwa Pan's Labyrinth adalah film dewasa. Setelah aku tonton, memang ada beberapa adegan yang cukup sadis dan tak layak ditonton anak-anak. Sebagai solusi, pas adegan sadisnya, seperti saat sang pembantu merobek mulut tuannya dengan pisau lipat, filmnya kami percepat,
sehingga tak perlu dilihat anak-anak.

Hari Minggu, masih ada rangkaian acara ulang tahunku. Ini hadiah kejutan dari Rara. Sebenarnya ia ingin mentraktir aku dan adiknya makan pizza di Pizza Hut di Mal SKA atau Ciputra. Tapi karena mereka bertengkar sehingga aku marah dan menolak pergi, akhirnya diputuskan untuk memesan pizza via delivery.

Kami menikmatinya bertiga, sementara si Papa sedang ada urusan di luar. Tak lama kemudian, aku istirahat sebentar, sedang anak-anak pergi main ke rumah temannya. Sorenya, aku berangkat ke kantor dan memulai rutinitas seperti biasa.
Begitulah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar