Selasa, 29 Desember 2009

Catatan dari Seminar Perempuan dan Pilkada

Kamis (24/12) lalu, aku berkesempatan mengikuti Seminar Perempuan dan Pilkada, di Gedung Daerah, Pekanbaru, menampilkan mantan cagub Jawa Timur Khofifah Indarparawansa, Guru Besar Hukum Tata Negara UIR Prof Ellydar Chaidir dan Guru Besar dari UIN Suska Prof Alaidin Koto.
Seminar sehari ini dibuka oleh Ketua Pembina Pusdatin Puanri Hj Septina Primawati Rusli. Dalam sambutannya, Septina mengatakan, seminar ini ditaja dalam rangka peringatan ke-81 Hari Ibu. Sengaja dipilih tema ini karena semakin banyaknya kaum perempuan yang terjun di bidang politik. Seminar ini dipandu oleh Rahmita B Ningsih dari Pusdatin Puanri.
Prof Ellydar Chaidir dalam pemaparannya mengatakan, dari segi hukum, perempuan memiliki hak yang sama untuk tampil di bidang ini. Sayangnya, hegemoni kaum lelaki seringkali menyurutkan langkah mereka. Persaingan yang kadang tak sehat, membuat kaum perempuan tersudutkan. Salah-satu alasan kuat yang sering ditonjolkan adalah larangan dalam Islam untuk mengangkat perempuan sebagai pemimpin.
Ia sendiri, terjegal dari pemilihan rektor di kampusnya, dengan alasan itu. "Saya sampai membuka kembali ingatan saya saat masih sekolah dulu tentang dalil-dalil pelarangan itu. Setelah yakin saya benar, saya mengajak mereka yang menolak pencalonan saya untuk debat publik, tapi tak ada yang mau," cerita Ellydar.
Penjegalan juga dialami mantan calon gubernur Jawa Timur Khofifah Indarparawansa. Menurutnya, berbagai trik, kecurangan dan black campaigne digelar untuk menjatuhkannya. Walaupun mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, namun saat pemilihan berlangsung, Khofifah kalah.
"Berbagai kecurangan telah kami laporkan kepada yang berwajib. Misalnya, pemilih anak-anak mencoblos sampai tujuh kami di TPS berbeda, pengurangan jumlah suara dan sebagainya. Namun laporan kami yang kedua ke Mahkamah Konstitusi tidak diregister. Itu artinya laporan kami tidak diproses," tegas Khofifah. Hal ini diulanginya sampai beberapa kali.
Khofifah mengingatkan para perempuan yang akan tampil di kancah politik untuk menyiapkan modal moril dan materil. Dikatakannya, perempuan seringkali tak memiliki hak menggunakan hartanya untuk membiayai perjalanan menuju panggung politik.
Berbeda dengan laki-laki, bisa menggadaikan rumah, kendaraan dan sebagainya, walaupun itu merupakan harta bersama. Sementara perempuan tidak dapat seleluasa itu. Oleh sebab itu dukungan keluarga dan pihak-pihak lain haruslah sangat kuat agar perempuan dapat tampil percaya diri di panggung politik.
Sementara itu, Prof Alaidin Koto lebih banyak memaparkan tentang sejarah kaum perempuan yang sejak awal memang sudah disepelekan. Ia terkadang dianggap sebagai benda, harta warisan yang dapat diwariskan, bahkan diperjualbelikan oleh suaminya dengan harga yang sangat murah.
Dengan perkembangan zaman, keberadaan perempuan semakin dihargai. Perubahan menyolok terjadi setelah Islam ada yang meninggikan derajat kaum perempuan.
Alaidin juga mengatakan bahwa dalil yang melarang perempuan dijadikan pemimpin haruslah melihat konteksnya. "Dalam sejarah, Khalifah Ustman bin Affan bahkan pernah mengangkat perempuan sebagai kepala dinas pasar. Sebagaimana kita ketahui, pasar itu kan dipenuhi oleh orang-orang 'bagak' dan khalifah Ustman tak ragu memilih perempuan. Ini menandakan, perempuan juga dapat menjadi pemimpin," katanya.
Bila ada perempuan yang merasa terjegal oleh kaum pria, menurut Alaidin, bisa jadi bukan karena persaingan gender, namun lebih dari perkara kalah menang. Tak peduli laki-laki atau perempuan, orang cenderung ingin mengalahkan lawan-lawannya.

Sungguh tak terbayangkan bila aku terjun ke dunia yang satu itu... Semoga tidak...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar