Minggu, 29 Maret 2009

Keputusan Besar

Sejak Rabu, saya telepon sana sini, mencari ke teman-teman sesama mahasiswa Komunikasi UMJ, tentang tugas kuliah. Sabtu ini harus diserahkan. Maklum, sepekan sebelumnya saya bolos kuliah karena ada pekerjaan penting yang harinya bertubrukan. Bolos di hari pertama kuliah! Sungguh membuat saya kecewa. Empat pekan mengikuti matrikulasi, sungguh menyenangkan menurut saya. Menambah wawasan, menambah teman, dan membuka cakrawala berpikir. Tapi pilihan harus ditetapkan.
Ketika Jumat malam saya usai mengedit berita-berita untuk terbit Sabtu, saya sempatkan mengerjakan soal-soal kuliah. Tinggal diprint out di rumah, beres. Namun malam itu, terjadi percakapan serius antara saya dan suami yang akhirnya mengubah keputusan saya untuk melanjutkan kuliah.
Saya harus menentukan pilihan, apakah meneruskan kuliah yang tak akan berefek apa-apa pada karir jurnalistik saya (melihat pengalaman kawan-kawan yang sudah menyelesaikan master di kantor kami). Itu bedanya dengan pegawai negeri, kata suami. Selain itu, waktu senggang saya pada Sabtu Minggu yang selama ini dinanti-nanti anak-anak, selama satu setengah tahun ke depan, akan terenggut. Belum lagi kesempatan untuk mengunjungi orangtua di Padang yang memakan waktu delapan jam perjalanan darat, takkan bisa kami lakukan seperti hari-hari lalu.
Satu lagi yang penting, aku tak akan bisa pergi keluar kota untuk membuat tulisan panjang. Padahal aku ada rencana pergi ke Pelalawan, menulis tentang sebuah desa yang terancam hilang. Sebuah persoalan dilematis yang berat. Awalnya saya berencana untuk pergi pada Sabtu-Minggu, tapi karena perkuliahan ini, rencana itu gagal dilaksanakan.
Satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah, pekerjaanku di event organizer Pena Production dengan dua orang teman sejawat, juga akan terbengkalai. Aku tak akan bisa konsentrasi di dua pekerjaan itu sekaligus, kuliah dan memikirkan EO itu.
Pekan lalu, aku membolos kuliah lantaran ada pekerjaan besar dari Pena yang harus aku kerjakan pada saat itu. EO kami yang sebelumnya baru mengerjakan proyek kecil berupa launching buku, kini dapat ‘kakap’ menyelenggarakan ekspo medical. Bertaraf internasional pula. Bagaimana tak pening. Sepekan menjelang hari H, aku dan teman-teman bahkan dilanda stress. Aku bermimpi buruk, tidur tak nyenyak dan makan tak teratur. Kami bekerja tak kenal waktu. Dan Jumat malam, usai mengerjakan tugas malam itu, aku masih begadang di hotel mengawasi sekaligus membantu stand-stand didirikan. Saat aku masuk ke kamar, kulihat jam menunjukkan angka 02.00 WIB.
Paginya, sudah harus bangun dan menyiapkan segala sesuatunya. Sungguh melelahkan. Acara itu tergolong sukses menurut kami, dan beberapa orang yang terlibat dalam acara itu. Tapi bayarannya mahal, aku meninggalkan kuliahku.
Mempertimbangkan itu, aku berpikir untuk stop dulu kuliahnya. Lebih baik aku tunggu waktuku benar-benar ada, anak-anak sudah cukup besar, baru kuliah lagi. Aku sedih harus bolos tiap sebentar dari kuliah yang sesungguhnya menyenangkan itu. Daripada aku setengah-setengah di dua bidang itu, lebih baik salah satu darinya mengalah dulu.
Walaupun teman-teman kuliah masih sms aku menanyakan kabar dan tugas, aku terpaksa tak dapat bergabung dengan mereka. Salah seorang malah membujuk, mengatakan tiga semester teori itu takkan lama. Tak akan terasa. Dan aku takkan pernah mendapatkan waktu yang benar-benar luang untuk kuliah, kecuali saat ini.
Ia tak tahu, bagaimana perasaan bersalahku saat pulang ke rumah, anak-anak mengatakan mereka belum makan. Bukan karena tak ada nasi dan lauk, melainkan tak ada yang mengingatkan. Lebih pilu lagi bila saat aku pulang, ternyata mereka sudah tidur, kedinginan karena tak pakai celana panjang, dan wajah-wajah tanpa dosa itu, terlelap dalam kesepian. Aku serasa ingin menangis.
Baiklah, kataku dalam hati, aku mengalah, aku takkan ikuti egoku untuk kuliah. Toh ilmu komunikasi dapat diperoleh di internet juga. Anak-anak ini lebih penting. Rumah tanggaku dan keluarga kecilku, juga lebih penting. Tak mengapa aku hanya mendapatkan pendidikan hingga strata satu, asalkan anak-anakku mendapatkan semua jawaban dari pertanyaannya yang kritis tentang dunia ini. Sejauh ini, mereka selalu puas dengan jawaban yang kuberikan. Tak jarang pula mereka memuji dengan spontan, “Ih, mama kok hebat? Kok bisa tahu semuanya?”
Hati ibu mana yang tak kan bangga dipuji putrinya? Itulah kebahagiaanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar