Senin, 03 Januari 2011

Puasa dan Cobaannya



Hari ini, Senin (3/1/11), kami sekeluarga sepakat untuk berpuasa. Jadi malam sebelumnya, aku kebagian repotnya. Nasi yang sudah habis, mesti dimasak. Demikian pula lauknya. Beruntung beberapa hari sebelumnya aku melakukan tindakan cerdas (hehehe...) membumbui ayam sehingga sekarang tinggal digoreng supaya warnanya tidak terlalu pucat. Malam ini, sekitar pukul setengah sebelas malam, sepulang dari kantor, aku memulai persiapan puasa besok pagi.
Ketika pukul empat kurang 10 menit alarm di hp-ku berbunyi, aku cepat bangun dan membangunkan semua anggota keluarga. Tata merengek, mengatakan, iya, ia akan bangun, tapi tunggu sebentar. Rara tak menyahut, hanya menggeliat sedikit.
Aku duluan makan sendiri. Setelah itu kembali membangunkan kedua gadis kecilku. Syukur tak perlu lama proses membangunkan ini, karena keduanya sejak sehari sebelumnya sudah berniat akan puasa hari ini. Tapi di meja makan, Tata merengek minta disuapi. Aku sedang enggan. Untung cepat dapat ide.
Hahaha...
Dengan senang hati aku mencari di dasar mangkuk, tempat ayam goreng ditaruh. Di sana, ada usus ayam goreng. "Kalau kalian mau makan sendiri, Mama kasih hadiah," kataku sambil tersenyum senang. Dua potong usus itu aku taruh di piring mereka masing-masing.
Iya, sejak beberapa waktu lalu usus goreng itu memang selalu jadi rebutan. Kegemaran makan usus itu dimulai oleh si Abang yang selalu mencari usus kalau kami sedang memasak ayam. Tak peduli digoreng atau digulai, usus selalu ditanya, mana dia? Sekali waktu, si Rara iseng mencoba memakannya dan ternyata ia suka. Lalu adiknya yang suka meniru dan tak mau kalah, juga ikut-ikutan suka.
Setelah itu, datanglah zaman berebut usus ayam. Kalau makanan baru diletakkan di atas meja dan semua sudah berkumpul untuk makan, salah seorang dari mereka akan memproklamirkan, bahwa usus ayam itu miliknya. Yang terlambat, terpaksa gigit jari.
Nah, tadi malam, sebelum menggoreng usus itu, aku sudah memotongnya jadi dua sehingga tak ada lagi perebutan usus di pagi buta ini. Anak-anak makan dengan senang hati jatah masing-masing. Si Abang memilih hanya minum air putih untuk sahurnya.
Hari ini sebenarnya mereka sudah mulai masuk sekolah. Tapi aku bilang,
tak usah datang dulu, karena biasanya mereka hanya sekolah sebentar saja, lalu pulang. Daripada berlelah-lelah, lebih baik mereka di rumah saja agar energi tak terbuang, sementara mereka sedang puasa. Demikian pula dengan Rara, karena ia sekolah siang, hari pertama ini biasanya ia datang pagi-pagi ke sekolah, hanya untuk berlari kesana kemari dengan teman-temannya, tidak bisa masuk ke kelas karena semua sedang dipakai oleh murid-murid yang memang masuk pagi (satu hal yang menjengkelkan aku sebagai orangtua).
Aku masih ingat dulu ia mengatakan sudah letih bermain di luar kelas, hilir mudik tak tentu arah, di hari pertama sekolah, sementara gurunya entah kemana. Datang sejak pukul tujuh pagi, daftar pelajaran untuk satu sementer ke depan baru didapat sekitar pukul setengah sebelas siang. Selama itu, ia dan kawan-kawannya hanya nongkrong di koridor sekolah, lalu jajan ke kantin, lari sana lari sini... Sungguh tidak efektif waktu yang terbuang. Dan saya heran dengan kebijakan pihak sekolah untuk menyuruh anak-anak datang pagi semua, sementara kelas tak mencukupi.
Belajar dari pengalaman itu, sekalian aku larang saja mereka pergi sekolah di hari pertama ini. Daftar pelajaran toh bisa ditanya pada teman.
Sekitar pukul sepuluh pagi, Rara memperlihatkan satu geraham atasnya yang sudah demikian goyah, tinggal ditarik sedikit saja pasti sudah lepas. Aku bilang, biar aku yang tarik supaya lepas. Melihat kondisinya, aku yakin dalam sekali hentakan kecil, geraham itu sudah lepas. Tapi ia masih takut-takut. Adiknya yang berdiri di
sampingnya memperhatikan, ikut jadi ngeri. Dan saat geraham itu benar-benar berhasil aku cabut, si Tata menangis.
"Kamu yang cabut gigi kok dia yang nangis?" tanyaku sama Rara. Kami tertawa. Tata menelungkupkan wajahnya ke kasur, menangis.
"Ma, nanti kalau umur Tata sudah 9 seperti kakak..."
Kalimat tak sudah itu terus yang diulang-ulangnya, sehingga aku melanjutkan dengan tak sabar, "Kalau kamu umurnya 9 tahun kakak jadi 5 tahun!"
Si Rara kembali ngakak.
"Bukaaan...maksud Tata, kalau Tata umurnya sudah 9, apa nanti giginya juga harus dicabut?"
"Iya, kalau ada yang goyah..."
"Aaa.... Tata gak mau doo...sakiiiit!"
"Jadi Tata mau umurnya 5 terus? Sekolahnya TK terus? Kamu mau, nanti temanmu si Lopez sudah kuliah, kamu tetap di TK itu, mewarnai dan main ayunan?"
Rara terpingkal-pingkal.
"Tidaaaak...." ia menjerit.
"Kalau begitu, terima resikonya. Jadi besar berarti akan ada gigi yang goyah, lalu dicabut, lalu tumbuh gigi baru yang lebih kuat. Kalau tak dicabut, justru malah jadi jelek, karena nanti tumbuh gigi yang baru, berdempet-dempet dengan gigi lama yang tak jadi dicabut. Tak apa-apa, sakit sikit biasa. Lihat kakak, santai aja

giginya baru dicabut, kenapa kamu yang nangis
Ia malu-malu. Aku dan Rara senyum-senyum geli.
Sepulang dari kantor sore itu, aku pergi mencari roti jala pesanan Rara untuk berbuka puasa nanti. Sementara adiknya minta dibuatkan nasi goreng. Jadi begitu sampai di rumah, roti jala dihidangkan di atas meja, lalu nasi goreng disiapkan di dapur. Anak-anak menghambur ke luar rumah, pergi main. Saat pelantang dari masjid menyuarakan rekaman orang mengaji, mereka baru pulang.
"Sudah siap nasi gorengnya?" tanya Tata.
"Belum Nak, sebentar lagi ya. Ayo siap-siap dulu, bantu Mama menyiapkan mejanya. Tolong bawakan piring dan gelas ya!"
Keduanya lalu membantuku. Kemudian kami bertiga menunggu adzan dikumandangkan. Biasanya di rumah kami itu, adzan terdengar bertalu-talu. Entah dari masjid mana, dinding-dinding ruko di sepanjang Jalan Tuanku Tambusai, memantulkan suara adzan hingga sangat jelas terdengar di rumah kami. Dan ketika akhirnya suara yang dinanti-nanti itu datang, kamipun berbuka puasa dengan nikmat.
Rara sudah hafal doa berbuka puasa sedangkan Tata sudah lupa. Setelah
aku pandu, ia langsung melahap nasi gorengnya. Sampai lupa minum air putih!
"Tata, air putih pun terasa nikmat kalau kita lagi puasa," kataku.
Ia menjangkau gelasnya dan meneguk isinya. Katanya kemudian, "Iya!"
Aku tidak makan nasi, hanya roti jala, lalu Shalat Maghrib duluan. Selagi
aku berzikir usai shalat, Tata datang menghampiri dengan wajah kekenyangan. "Mama, ennnak nasi goreng Mama. Tata kenyang sekali. Makasih ya Ma!"
Satu kecupan mendarat di pipiku. Alhamdulillah...
Oh ya, si Abang pulang telat, sehingga ia melewati pesta kami (lagi...).

Minggu, 02 Januari 2011

My Special Old n New Moment






Jumat (31/12) diawali dengan menyetrika sebagian pakaian, beres-beres rumah, memasak
dan mencuci. Makanan harus tersaji pukul sembilan, agar semua anggota keluarga bisa sarapan bersama. Semua pakaian kotor hari itu harus siap dicuci dan itu berarti anak-anak harus segera mandi pagi. Semua sudah harus beres pada pukul setengah sepuluh pagi, karena pukul sepuluh aku ada janji khusus membahas future big project (FB Project) bersama beberapa teman dekat.
Jadi, seperti biasa, ruar biasa sibuknya aku pagi itu. Begitu makanan terhidang, semua makan dan aku membagi tugas yang tersisa pada Rara dan Tata, yaitu memasukkan pakaian yang sudah disetrika ke dalam lemari masing-masing (Rara n Tata), menyusun sepatu semua orang ke raknya (Tata), menyiram bunga (Rara), membereskan kamar (Rara n Tata) dan membereskan buku, majalah dan puzzle (Tata).
Pukul sepuluh lewat lima menit, FB Project dimulai. How nice to meet the people who have same idea dan spirit with me. Sebenarnya FB Project usai pukul 12, tapi ternyata tanpa terasa kami terus hingga satu jam ke depan. Setelah itu, aku menelepon saudara yang akan berkunjung ke rumah. To make sure. Setelah dapat kepastian bahwa rombongan yang sedang liburan ini benar akan datang selepas Magrib, akupun meluncur mencari makanan. Ya, mereka akan makan malam di rumah.
Sembari mengendara, aku berpikir, enaknya nanti sore makan apa ya, mpek-mpek atau buah? Mpek-mpek sudah sering dimakan, terutama sejak adikku Yessi punya langganan mpek-mpek dari Palembang asli dan ia biasa royal membeli. Kalau tidak satu kardus, ya setengahnya. Segala macam jenis mpek-mpek, termasuk yang seperti bakwan, ada.
Tiba-tiba aku teringat roti jala, makanan khas Riau yang biasa dimakan dengan kare kambing atau kuah durian. Mungkin saudara-saudaraku dari Padang dan Solok Selatan, belum pernah mencicipinya. Baiklah, aku akan beli itu saja. Di belakang Kantor Gubernur, pedagang aneka makanan mulai dari lontong, kolding (kolak dingin) durian, sop buah, roti jala dan lain-lain, menjajakan makanan mereka cukup di dalam mobil. Caranya, mobil diparkir di pinggir jalan, pintu belakang dibuka, barang dagangan ditata dalam wadah yang lumayan besar dan pengunjung boleh memilih. Sebagian pedagang menyediakan bangku-bangku plastik bagi pembeli yang ingin makan di tempat.
Sejak beberapa tahun lalu Jalan Tjut Nyak Dien di belakang Kantor Gubernur itu, telah menjadi kawasan wisata kuliner makanan khas ini. Ada puluhan pedagang bermobil yang parkir di situ. Dan sejak beberapa bulan lalu, sebagian pedagang mulai menyebar ke jalan di samping Bank Indonesia.
Siang itu saya sedikit pesimis, masihkah ada yang berjualan di sana? Adakah makanan yang saya cari? Ini sudah lewat tengah hari, jalanan mulai sepi karena besok liburan. Sebagian orang mungkin hanya masuk kantor setengah hari. Para pedagang mungkin sudah mengantisipasi ini. Sejak dari pedagang pertama yang menjual sop buah, saya pelankan motor dan membaca satu demi satu spanduk para pedagang itu. Ada kolding, kolding, es buah, sop buah, lontong. Satu unit sedan tampak sepi dan sepertinya semua dagangannya hari itu telah habis. Spanduknya bertuliskan aneka makanan, termasuk roti jala kuah durian. Tapi mana orangnya nih? Sedikit kecewa, saya meneruskan perjalanan dan ternyata tak jauh dari sana, ada Pak Haji yang jualan roti jala kuah durian itu.
Lumayan, satu porsi harganya Rp7 ribu. Memang agak mahal, tapi sebanding dengan rasanya. Sebagai penyuka roti jala, baik yang dimakan dengan kare maupun kuah durian, setahuku makanan ini memang tidak pernah dijual murah.
Aku segera pulang dan memasak nasi dan lauk. Rara membantu menyiapkan piring, gelas dan mangkuk. Juga bolak-balik ke toko dekat rumah membeli tissu dan lain sebagainya, sesuai instruksiku. Sembari beres-beres, datang telpon dari kepala rombongan bahwa mereka sebentar lagi akan datang. Berarti tidak nanti malam, tapi sore. Jadilah aku semakin sibuk.
Ketika akhirnya rombongan ini datang, aku senang, semua makan dengan lahap. Bahkan mengatakan makanannya enak. Termasuk roti jalanya. Semua ludes. Alhamdulillah. Menjelang Magrib, semua pergi lagi. Kami tinggal berempat lagi.
Kami Shalat Magrib berjamaah dan si Abang memberikan kultum terakhirnya sepanjang 2010 ini. Sasaran tembak sang sniper adalah Rara, yang disuruh membuat resolusi untuk mengerjakan shalat tepat waktu, terutama Subuh, yang harus dikerjakan sebelum terbit matahari.
Setelah itu, kami masuk ke kamar dan aku bersama dua gadis kecilku, memulai acara old and new kami. Memasang henna. Tau kan. Itu hiasan di telapak dan punggung tangan, biasa dipakai para wanita Arab dan India, saat akan menjadi pengantin. Yang pertama dihias adalah aku dan Rara membantuku. Lalu Rara dan Tata. Setelah dipasang, henna harus didiamkan dulu beberapa saat hingga benar-benar kering, agar warnanya menyerap ke dalam kulit.
Tata seperti biasa, tak sabar melihat hasilnya. Jadi sebelum benar-benar kering, ia sudah lari ke kamar mandi dan mencuci tangannya. Ternyata hanya membayang sedikit saja, dan keesokan harinya sudah nyaris tak ada. Sedang aku, tak lama kemudian tertidur pulas karena kecapekan.
Keesokan harinya, semua kecuali aku, bangun kesiangan. Si pengusul dan pemilik resolusi, Shalat Subuh berjamaah setelah terbit matahari. Pelanggaran pertama, beberapa jam saja setelah resolusi itu dibuat...