Jumat, 25 Maret 2011

Yiiihaaa...Ketemu Andrea Hirata!!



Andrea Hirata, penulis novel fenomenal Tetralogi Laskar Pelangi, Jumat (25/3/11), menggelar meet and greet (jumpa fans) di salah satu toko buku terkemuka di Pekanbaru.

Acara itu diisi dengan tanya jawab dengan pembaca Tetralogi Laskar Pelangi, dari segala usia. Pertanyaan berdatangan tidak saja dari kalangan muda, melainkan juga orangtua. Dalam kesempatan itu, Andrea menegaskan tentang pentingnya riset sebelum membuat sebuah tulisan. Berbeda dengan sebagian besar penulis lain yang menghabiskan waktunya 95 persen untuk menulis dan hanya 5 persen untuk riset, Andrea justru terbalik, ia menghabiskan 95 persen waktunya untuk meriset dan sisanya untuk menulis. Dan saat ditanya, manakah yang lebih dinikmatinya, dengan cepat dan pasti ia menjawab, "Melakukan riset."

Satu fakta tentang Novel Padang Bulan/Cinta di Dalam Gelas, riset dilakukan sampai empat tahun dan mewawancarai hingga 400 orang. "Saya empat tahun melakukan riset sebelum menulis Padang Bulan. Berbulan-bulan duduk di warung kopi dan melihat tingkah laku orang-orang yang datang ke sana. Dari riset yang lama itu, saya kira saya bisa menulis empat sampai lima novel baru lagi. Tapi apa kejadiannya, dua hari setelah diterbitkan, keluar bajakannya, alamak!" katanya. Bahkan ia sendiri pernah ditawari seorang pedagang buku Laskar Pelangi versi bajakan.

Dalam kesempatan itu, Andrea juga mempertanyakan kembali hasil survei yang mengatakan bahwa minat baca orang Indonesia sangat rendah, jauh lebih rendah dibanding Malaysia atau Singapura. Ia menyebutkan, Laskar Pelangi telah dicetak hingga 12 juta kopi, sementara bajakannya lebih banyak lagi. Buku itu juga diterjemahkan ke dalam 18 bahasa asing, terbaru diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis. Buku-buku bajakan ini bahkan beredar hingga ke Vancouver, Kanada dan Zimbabwe, Afrika, yang menurut Andrea, 'tempat dimana jin pun tak mau buang anak di sana'.

Fakta ini seolah membuktikan kebalikan hasil survei itu. Menurut Andrea, orang-orang mau membaca Laskar Pelangi karena mereka menemukan apa yang mereka cari dalam novel itu.

Pertengahan tahun ini, Andrea Hirata akan menerbitkan novel barunya berjudul Ayah yang awalnya merupakan novel berbahasa Inggris berjudul Two Trees. "Saya awalnya tak mau menerbitkannya di Indonesia, karena 'mangkel' sama pembajakan ini," katanya.

Di novel Ayah, Andrea menjanjikan sesuatu yang benar-benar baru. Tidak ada lagi tokoh Ikal, Arai dan lainnya seperti dalam novel sebelumnya. Selain itu, ia juga akan memasukkan unsur politis di dalamnya. "Seperti apa pula seorang Andrea Hirata menulis politik, naah...tunggu saja," katanya.

Behind the scene (taela...)
Informasi kedatangan Andrea sudah aku ketahui sejak Rabu sebelumnya (23/3/11) dan langsung berbagi dengan Desi Susanti, salah seorang penderita sakit gila nomor 44 (tergila-gila pada Andrea Hirata sama kayak gue!). Desi langsung 'kumat', menyusun rencana pertemuan dengan Andrea, antara lain mau foto-foto bareng (so pasti) dan tanda tangan buku. Hebatnya, tak hanya satu, tapi kelima-lima karya Andrea akan diboyong Desi untuk ditandatangani. Kami ngakak habis di telepon sampai aku berlinang air mata, menertawaan kegilaan ini. Aku bilang, jangan sampai Andrea menatap Desi lama-lama gara-gara lima buku itu, sambil berkata dalam hati, "Parah nih!"

Sore itu juga ia pergi ke Bandara SSK II. "Waah...Andrea baru datang Jumat pagi, tapi Desi sudah mau menunggunya dari sekarang. Mau mencuri start ya?" kataku menggodanya dan kami ngakak lagi. FYI, akhir-akhir ini kami memang sedang terkena sindromesukatertawagakketulungan.

Pas Hari H, aku yang kurang tidur malam sebelumnya, sebenarnya mau tidur siang sebentar sebelum meluncur ke Gramedia, tempat acara dilangsungkan. Tapi ternyata Desi mengabari, ada dialog interaktif di radio. Gak sabaran, aku dengerin deh dan mengajukan satu pertanyaan yang paling hebat yang terpikir saat itu, yaitu, apakah tokoh-tokoh dalam karyanya benar-benar ada? Aku memberi contoh Action dalam Novel Padang Bulan, pria yang selalu merasa diawasi kamera imajiner sehingga selalu mengambil pose paling oke dalam setiap kesempatan.

Jawaban Andrea lebih cerdas lagi, bisa ada bisa tidak. Namanya juga karya fiksi. "Di bagian bawah sampul buku saya selalu ada tulisan N O V E L, tanda itu bukan kisah nyata. Dalam fiksi, sesuatu yang ada bisa dibuat tidak ada, yang tidak ada jadi ada."

Idih, sebagai mantan mahasiswa fakultas sastra, mendadak aku merasa menjadi 'Makhluk Tuhan Paling Gubluk' karena telah mengajukan pertanyaan itu. Dan di Gramedia, pertanyaan sejenis dilontarkan lagi oleh seseorang dan Andrea mengatakan, "Itu pertanyaan ke dua juta sekian yang diajukan pembaca," WHAT?????

Aku bertemu Helfizon, seorang penderita penyakit sejenis (tapi di sisi lain merasa telah menjadi reinkarnasi Elvis Presley, tercermin dari alamat emailnya, uhuii!). Memanfaatkan hak istimewa sebagai wartawan, kami berdua diberi waktu untuk wawancara khusus dengan Andrea dan itulah fotonya (foto aku sok akrab sama Andrea itu lo, sedang foto atas aku ambil via kamera hp saat abang bujang lapukku itu dikerubuti perempuan-perempuan segala usia yang ingin minta tanda tangan dan foto bareng). Foto itu diambil Helfizon dengan kameranya dan ia memberi catatan saat mengirimkannya ke emailku: maaf fotonya agak goyang, mungkin karena tanggal tua...

Kepada para fans Andrea Hirata yang sibuk jepret-jepret, aku nyeletuk usil, "Udahlah tu, foto-fotonya... memorinya sudah penuh tuh!" Seorang cowok (mungkin mahasiswa) tertawa. Katanya, "Iya Bu, betul itu." Tapi tetap aja ia jepret-jepret. Andrea tak bisa melepaskan senyumnya. Kurasa kelebaran mulutnya jadi nambah beberapa senti sejak terkenal ini, hahaha...!


Sambil berjalan meninggalkan para fans itu, kata abangku itu pada Helfizon, "Lihatlah! Pernahkah Abang bayangkan seorang penulis bisa diperlakukan seperti artis begitu? Saya tak pernah membayangkannya!"

Helfizon cengengesan speechless. Kami menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk wawancara (sori buat Dina Febriastuti yang mengaku hanya dapat waktu lima menit untuk wawancara khusus. Peruntungan kita membang berbeda, Din). Helfizon tampaknya tak dapat lagi menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa ia fans berat Andrea Hirata. Sepertinya kontak fisik mereka dengan saling berangkulan sepanjang lorong antara rak buku menuju ruangan khusus untuk wawancara, tak cukup menggambarkan betapa ngefansnya dia pada Abang Kitingku itu.


Helfizon ini setahuku bukan tipe orang yang suka foto bareng artis, sama seperti aku, sehebat apapun artis itu. Tapi dengan Andrea, lain lagi ceritanya. Itu sudah fardhu 'ain hukumnya bagi kami.

Dan si Ikal yang kalem dan bersahaja ini, berbagi tips menulis seolah kami ini dua kawan lama yang dulu sama-sama menjadi murid SD Muhammadiyah yang reyot di Belitong itu. Ada banyak hal yang saya petik dari percakapan itu. Salah satu yang sangat ditekankan Andrea adalah pentingnya riset. Pentingnya menghargai karya orang lain. Jangan membeli barang bajakan. "Mungkin kelebihan saya yang tidak pernah belajar sastra dan hingga saat ini paling banyak hanya membaca 10 novel, adalah, saya terbiasa melakukan riset. Saya kan sekolahnya di ekonomi. Saya pelajari psikologi, astronomi, ilmu catur dan sebagainya sebelum menulis. Namun ketika psikologi itu dituangkan dalam bentuk novel, ia tidak boleh menjadi pelajaran psikologi," katanya. Novel pertama yang ia baca berjudul If Only I Could Talk karya Tony Lewis, pemberian cinta pertamanya. Aling?

Riset yang sedang dijalankannya saat ini adalah mengumpulkan berbagai definisi 'sedih'. "Saya cukup rapi mendokumentasikan defisini 'sedih' ini. Dalam hitungan saya, ada sedikitnya 76 definisi sedih. Ada sedih yang gembira, sedih yang konyol, sedih yang pahit, sedih yang tragis, dan lain sebagainya," katanya. Saya jadi su'udzon, jangan-jangan berbagai definisi ini akan muncul di Two Trees /Ayah. Cekidot ajalah nanti...

Oh ya, bagi penggemar Andrea yang belum tahu status kepegawaiannya di Telkom, Andrea mengatakan, "Di tempat saya bekerja, ada yang namanya cuti di luar tanggungan. Saya sudah dua tahun tidak masuk kantor dan manajemen sudah berkali-kali melayangkan surat menyuruh saya masuk, tapi saya tidak datang-datang," akunya.

Ia mengaku dulu kerjanya di Telkom termasuk manjat-manjat tiang. Bayangkan sajalah, seperti apa rupanya...

Saat kami tanya darimana bakat menulisnya datang, ia mengatakan itu adalah bakat kultural dan saya kira dia benar. "Seperti anak-anak Bali yang sejak usia belia sudah bisa memahat patung, demikian pula kita yang orang Melayu ini. Kita hidup dalam tradisi bercerita. Minum segelas kopi di warung kopi, habis satu kabinet kita persalahkan. Gelas kedua, wakil presiden yang kena getah, hahaha..." dia tertawa.

Iya iya, benar dia. Itulah kelebihan etnis melayu, suka berbual di kedai kopi.
Andrea juga memberikan tips pada kami cara menulis supaya terasa nyata. "Gunakannya konsep dimensional yang sering dipakai para arsitek dalam menggambar. Kalau kita melihat gambar sebuah rumah, kita dapat memahami seperti apa wujud rumah itu, dindingnya, dan sebagainya. Saya terbiasa menulis seperti itu, dimensional, menggambarkan satu lokasi atau orang dengan pendekatan empat titik," katanya.

Saya sempat bertanya, apakah sama nilai rasa dalam Laskar Pelangi dengan The Rainbow Troops (Laskar Pelangi versi bahasa Inggris). Andrea menerangkan,"Proses penerjemahan Laskar Pelangi memakan waktu yang cukup lama. Pertama kali ia diterjemahkan selama delapan bulan oleh seorang penerjemah, tapi saat saya baca, kok saya kurang puas. Lalu dicari penerjemah lain, tujuh bulan diterjemahkan, hasilnya masih belum memuaskan. Suatu hari saya bertemu seorang mahasiswa Amerika penerima beasiswa Fulbright di Universitas Indonesia yang menonton film Laskar Pelangi dan mengaku tertarik. Ia lalu datang ke Belitong, naik pesawat dan turun di bandara perintis di tengah hutan. Dia kira Belitong itu seperti Bali, padahal hutan belantara saja dimana-mana. Kampung saya masih 100 kilometer lagi dari sana. Dia diselamatkan tukang ojek yang membawanya ke rumah ibu saya. Dialah yang akhirnya menulis Laskar Pelangi versi Bahasa Inggris. Dan saya puas sekali." Penerbit Amerika menyebutnya, "Perfect!"


Dikatakannya, proses penerjemahannya pun memakan waktu sekitar tujuh bulan. Ia dan mahasiswa Amerika itu duduk berhadap-hadapan dan menerjemahkan kata perkata dalam novel itu hingga akhirnya lahirkan The Rainbow Troops. Novel itu kemudian menjadi rebutan penerbit di Amerika dan hingga saat ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.

"Penerjemahan suatu karya biasanya akan lebih mudah bila dilakukan dari Bahasa Inggris, sedangkan bila diterjemahkan dari Bahasa Indonesia, agak sulit. Jadi saya kira penting sekali kita menerbitkan tulisan dalam bahasa Inggris ini. Laskar Pelangi diterbitkan dalam berbagai bahasa asing kan karena sudah ada versi Bahasa Inggrisnya," katanya.

Satu tips rahasia yang diberikannya kepada kami adalah, "Kita tidak mungkin bisa menulis karya yang bagus tanpa sensitivitas yang baik. Guru, orangtua dan lingkungan masa kecil telah mengajarkan pada saya arti sensitivitas akan sifat manusia."

Satu lagi inspirasi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar