Selasa, 15 Maret 2011

Pengakuan Ibu Guru Tata: Kami Malu sama Tata




Tadi pagi, setelah hampir sepekan demam yang itil (ilang-ilang timbul), si Tata aku antar ke sekolahnya. Dia masih kurang bersemangat, mungkin karena sudah senang di rumah saja, main terus sepanjang hari dan gak mandi-mandi, hehehe...
Jadi kami berangkat ke sekolah sudah telat sekali. Pukul delapan lewat sekian menit, kami baru keluar dari rumah. Begitu sampai di sekolah, ia disambut gurunya. Aku menyempatkan diri menghadap ibu guru itu untuk meminta maaf karena si Keriting itu sepekan ini tak masuk kelas.

Aku sungguh tak mengira ketika Ibu Wel, demikian namanya, mengatakan sesuatu tentang si Tata. Ini soal ia yang beberapa kali masuk kelas dalam keadaan puasa.
"Mbak Tata itu sering puasa sunnat ya Mama?" tanyanya memulai pembicaraan di ambang pintu kelas.
Aku tersenyum saja. Memang begitu keadaannya.
"Kami berdua (maksudnya ia dan guru yang satu lagi di kelas yang sama) jadi malu. Bahkan kami yang dewasa ini, membayar utang puasa aja susahnya minta ampun. Ini anak sekecil Tata mau dengan sukarela puasa sunat," dia geleng-geleng, seperti kasihan pada dirinya sendiri.
"Mama berhasil mendidik dia. Mudah-mudahan sampai dewasa ia akan terbiasa puasa sunat," katanya dengan tulus.
"Amiin," jawabku.
Perkara puasa ini, sekali aku kena marah sama si Tata. Pasalnya, sebelum tidur
malam itu, ia bertanya.,"Besok hari apa Ma?"
"Kamis," jawabku.
"Bangunkan Tata subuh-subuh, Tata mau puasa," katanya.
"Ya."
Masalahnya, alarm di hp-ku berbunyi pukul setengah enam pagi. Aku lupa menyetelnya pukul empat. Jadi kami tak makan sahur. Aku yang imannya lagi down banget, santai saja tak puasa. Si Tata memulai hari dengan marah-marah, mengapa ia tak dibangunkan.
"Maaf ya Naak...Mama ketiduran.." aku mengiba-iba, rada-rada lebay.
Ia memutuskan untuk tetap puasa, walau tanpa makan sahur. Di motor, saat berangkat sekolah, aku berpesan padanya, agar menahan diri saat nanti kawan-kawannya makan.
"Ingat Tata lagi puasa ya. Nanti kalau teman-temannya makan, Tata main aja," kataku.
Aku pesankan juga, kalau ia tak kuat menahan lapar, ia boleh membatalkan puasanya.
"Apakah Tata tetap dapat pahalanya dari Allah?" tanyanya polos.
"Jelas dong! Allah itu kan baik," kataku.
Hari itu, ia berpuasa dengan kakaknya, dengan kondisi sama-sama tanpa makan sahur. Panas sungguh terik. Dan mereka sama-sama biasa makan pagi. Suka bermain. Sungguh berat puasa hari itu. Tapi mereka tetap menjalani dengan kesadaran sendiri. Tak hanya ibu gurunya yang malu, aku dan si Abang juga malu. Kami yang 'gadang-gadang' ini, yang seharusnya memberikan teladan lebih baik, ternyata kalah dengan dua anak kecil yang berpuasa semata-mata demi mendapatkan ridha dari Allah.
Really, I proud of you, my lovely girls!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar