Sabtu, 07 Desember 2013

Aku Dibuang Nenekku




Namanya Dea. Anaknya kecil dan imut. Tubuhnya lebih kecil dari Tata. Dia teman sekelas Tata di kelas III SD. Ia menjadi teman Tata kesayanganku. Mengapa? Karena aku selalu merasa ngilu saat Tata bercerita tentang temannya yang satu itu.

“Dia tinggal di panti Ma. Katanya, neneknya yang membuangnya,” kata Tata.

Itu saja sudah seperti palu yang menghantam dadaku. Anak sekecil itu, mendapat kata-kata semacam itu? Dibuang? Aaarrrggghhh…. Nenek mana yang begitu tega membuang cucunya sendiri???

Rasanya aku ingin memeluk anak kecil itu. Cerita yang sampai ke Dea dan yang diceritakan Tata kepadaku; saat ia masih kecil, ia ditinggalkan begitu saja di depan panti itu. Di sanalah ia sampai hari ini.


Menurutku, tidaklah pantas seorang anak  mendengar hal-hal buruk seperti itu tentang dirinya. Betapalah pedih hatinya mengetahui ia tak diinginkan. Tidak bisakah orang-orang dewasa dengan bijaksana (seperti di film-film) mencari kata-kata yang lebih manis dan tidak mematikan harapan saat berbicara dengan seorang anak kecil?

Kalau ke sekolah, kata Tata seragamnya bau sabun colek.

“Mungkin gak pakai Molto Ultra Sekali Bilas kali kayak kita. Kasian ya Ma. Dia mencuci sendiri bajunya. Mesin cuci hanya untuk pengurus panti,” cerita si Tata. Wajahnya jadi sendu.

Di sekolah Tata, murid-murid punya beberapa seragam. Senin-Selasa seragam putih merah, Rabu-Kamis seragam biru kotak-kotak, Jumat baju melayu dan Sabtu training olahraga. “Tapi Dea itu hanya memakai baju putih-merah terus setiap hari. Dia tidak punya baju biru,” cerita Tata lagi.


Beberapa waktu yang lalu, dia meminta baju melayu warna hijau punya si Rara untuk dipakai pergi MDA. Aku dan Tata pun membongkar-bongkar gudang mencari baju itu. Ternyata masih sangat kebesaran untuk Dea sehingga batal diberikan.

Sebagai gantinya, aku minta Tata menyortir baju-bajunya yang masih layak pakai tapi sudah kekecilan, untuk diberikan pada temannya itu. Tata memberikan beberapa lembar bajunya, caranya, sehari dibawa satu. Beberapa hari kemudian, saat ditemukan lagi ada baju  yang kekecilan, diberikan lagi.

“Deanya senang Ma. ‘Waah… bagus sekali…’ katanya,” lapor Tata.

Suatu hari, Tata membawa catatan lagu ke rumah. Katanya, itu lagu kesayangan Dea. Aku lihat, ternyata itu lagu Bunda karya Melly Goeslaw. Tentu semua tahu, lagu itu menceritakan tentang seorang anak yang mengenang ibunya dengan penuh rasa cinta. Ibu yang rela berkorban jiwa raga demi sang anak. Yang membuat aku serasa ingin menangis adalah, cerita Tata bahwa Dea selalu menelungkupkan wajahnya bila sampai ke kata-kata, “Oh Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku…”

“Dea pasti nangis kalau sampai sini Ma.”

“Coba kamu nyanyikan lagu itu pagi-pagi sekali, habis subuh, waktu hari masih sepi, lalu kamu pandangi foto keluargamu, kamu pasti akan  menangis,” kata Dea pada Tata.

Jadi kata Tata padaku, “Cobalah Ma, Mama ambil foto keluarga kita, nyanyikan lagu Bunda itu pas subuh-subuh abis shalat, lalu Mama pandangi foto itu, pasti Mama akan nangis.”

Aku pikir Dea lupa  menambahkan keterangan ini; bayangkan dirimu telah dibuang nenekmu, tinggal sendirian di panti asuhan sementara kedua adikmu tetap tinggal dengan ibumu, bagaimana perasaanmu?


Karena kasihanku, aku beberapa kali menyiapkan dua bekal makanan Tata. “Kasi Dea satu ya,” pesanku. Jadi kalau Tata hari itu makan nasi goreng, Dea juga dapat dalam porsi yang sama.

Hari Senin lalu, Tata pulang membawa cerita baru tentang Dea. “Seharian kemarin dia menangis karena mamanya tidak jadi datang menjemputnya,”

Ooh…, sudah, cukup Tata, nanti gantian Mama yang nangiiiiis…. Hiks hiks! Untuk menghibur Dea dan mungkin juga hatiku sendiri, aku menawarkan pada Tata untuk mengajaknya menginap di rumah kami, suatu hari nanti, saat kamarnya selesai direnovasi. Tata sudah mengundang Dea. Dea mengatakan akan meminta izin dulu pada pengurus panti. Kita tunggu saja…






Tidak ada komentar:

Posting Komentar