Senin, 13 Juni 2011

Safari Masjid

Safari Masjid

Menikmati libur panjangku, aku dan anak-anak sering membuat rencana bersama. Salah-satu yang kami sukai adalah pergi salat ke masjid. Safari masjid. Jadi, kami menjelajahi masjid-masjid yang menarik perhatian mereka.
Masjid Ikhlas di dekat rumah, tentu yang paling sering didatangi. Bila cuaca memungkinkan dan anak-anak dapat menyiapkan diri sesegera mungkin, maka kami akan pergi ke masjid yang agak jauh. Seperti pekan lalu, kami sempat mengunjungi Masjid An Namirah di Jalan Tuanku Tambusai II, tepatnya di dekat Mal SKA.
Masjid itu, terasa khas. Saat menyusuri jalan di depan masjid yang seperti lorong karena di kiri kananya berdiri deretan ruko, saya serasa sedang berada di lorong-lorong di depan Masjid Nabawi, Madinah.
Arsitektur masjid ini sepertinya juga mirip dengan Masjid Nabawi. Empat tiangnya yang tinggi, sangat menyolok dari kejauhan. Masjid ini berada dalam satu komplek dan selepas Isya, pintu pagar komplek itu ditutup.
Masjid ini bersih, menentramkan hati dan tidak panas, karena langit-langitnya cukup tinggi. Pintu masuk untuk jamaah perempuan dan laki-laki dibedakan dan antara kedua jamaah itu dipasang tirai yang benar-benar menutup akses. Saya nyaris tidak melihat siapa imam yang memimpin salat hari itu dan berapa shaf laki-laki yang terisi. Namun yang pasti, di tempat jamaah perempuan, sedikit sekali. Pemandangan ini berbeda bila tiba waktu Salat Jumat. Kendaraan roda dua dan empat yang parkir melimpah hingga ke pinggir jalan raya. Tidak jarang pula ruas jalan di depannya macet karena berdempetnya kendaraan yang parkir di sana.
Kami melaksanakan Salat Magrib dan Isya di sana. Setelah itu, Tata belajar sekilas Iqra'-nya. Ia angin-anginan. Sebentar saja sudah minta izin main tongkat dingin denga kakaknya di luar masjid. Saya sendiri menikmati suasana yang tenang itu dengan membaca Surat Ar Rahman dan Al Waqi'ah (ingat pesan mertua, hehehe...).
Saat kami datang, perkiraanku, hanya sekitar sepuluh orang jamaah perempuan yang ikut salat. Namun setelah itu, silih berganti orang berdatangan, saya kira mereka para karyawan yang baru pulang kerja. Dan ketika waktu Isya tiba, tinggal empat perempuan dewasa yang ikut salat berjamaah, ditambah dua anakku.

Masjid Fatimah
Kali lain, kami pergi ke Masjid Fatimah yang terdapat di Komplek Paus Flower Residence. Karena lumayan jauh, kami berangkat lebih awal. Kami masuk lewat Jalan Duyung yang mulus dan lurus saja hingga ke ujung.
Masjid ini, konon dibangun oleh developer Paus Flower Residence. Fatimah adalah nama ibu si pemilik tanah, yang memang berpesan agar dibangunkan masjid yang representatif di komplek itu. Saya agak terkesan dengan kompleks itu karena dulu sempat ke sana untuk survey rumah dengan si Tata. Kami naik motor berdua lalu melihat-lihat rumah yang sebagian baru dibangun itu.
Rumahnya kecil dengan sisa tanah juga kecil. Harganya sungguh tak terjangkau kantong kami, Rp265 juta untuk type 36. Tapi saat itupun masjidnya sudah siap. Di situlah letak keunggulan komplek ini, sarana umumnya disiapkan duluan sebelum rumah-rumah dibangun. Masjidnya full AC, bersih dan tenang. Halamannya luas, diberi paving blok dan tanaman pelindung yang mulai meninggi di kiri kanannya.
Kini di sana sudah ramai. Namun saat kami datang, jamaah perempuan hanya tiga orang dewasa, plus saya, serta tiga orang anak kecil (dua di antaranya tentu anak-anakku). Tiga orang dewasa itu, hanya dua yang datang dari komplek itu sedang yang satu lagi agaknya musafir karena jalur itu merupakan jalur alternatif dari Jalan Tuanku Tambusai menuju Arifin Achmad, selain Jalan Paus dan Soekarno-Hatta yang macet.
Jamaah laki-laki tidak terlihat. Yang berkesan bagi dan aku Rara saat shalat di sana, bacaan imamnya sangat jelas saat membaca Al Fatihah dan surat pendek. Enak mendengar imamnya memimpin shalat.
Selesai shalat, kami tidak menunggu waktu Isya dan langsung pulang. Beberapa pria kami lihat segera mengambil tempat di sebuah sudut teras, sepertinya akan memulai diskusi di sana.

Masjid Agung An Nur
Kamis, 26 Mei, kami pergi ke Masjid Agung An Nur. Anak-anak sebenarnya sudah akrab dengan masjid ini. Hari Minggu pagi, kami sering ke sana untuk olah raga. Hari Kamis itu, kami melihat banyak ibu-ibu yang duduk bergerombol, berbuka puasa. Hal ini menimbulkan ide si Rara.
"Bagaimana kalau Kamis depan tanggal 2 Juni, kan libur tuh, kita puasa lalu berbuka di Masjid An Nur?" Matanya berbinar.
Kami setuju. Tapi aku langsung pasang syarat, bagi siapa yang tidak penuh shalatnya, (sebenarnya ini lebih ditujukan kepada si Tata), maka ia tidak akan dibangunkan sahur. "Iyela, iyela..." katanya.
Sejak hari itu, anak-anak jadi lebih bersemangat menjalani hidup. Mereka patuh disuruh membereskan kamar, menyusun sepatu, melipat kain, bangun pagi, dan lain-lain. Si Tata juga tak susah lagi disuruh salat.
Si Rara tiap sebentar mengingatkan, "Ingat Hari Kamis!" serunya sebelum pergi MDA. "Jangan lupa Hari Kamis!" serunya kali lain dari dalam mobil saat berangkat sekolah.
Kami menyiapkan acara itu sebaik mungkin. Terutama aku, sehari sebelumnya sudah siap. Alarm disetel pukul empat pagi. Subuh buta itu, aku masakkan empat potong ayam goreng buat sahur kami berikut sayur bayam. Tak lupa masing-masing satu cangkir kopi. Aku pikir, bolehlah mereka nonton Dora The Explorer pukul lima, selesai Salat Subuh, sebagai hadiah.
Anak-anak senang bisa menonton Dora. Biasanya pagi-pagi remote tivi dikuasai si papa. Sering terjadi perebutan antara si papa dengan Tata. Yang satu ingin tahu perkembangan dunia paling mutakhir, yang satu ingin tahu perkembangan Spongebob Squarepants. Sementara televisi di rumah kami cuma satu. Hari itu si Tata dan kakaknya menang telak. Mereka puas nonton semua film anak-anak sejak pukul lima hingga pagi.
Siangnya, aku bilang, sebaiknya mereka istirahat, kalau bisa tidur, agar nanti saat berbuka puasa kembali bugar. Tapi mungkin karena pengaruh kopi atau mereka keasyikan main, tidak ada yang mau tidur siang. Bahkan aku yang ingin istirahatpun, diganggu hingga tidur siangku jadi batal.
Aku siapkan bagar buat lauk berbuka. Itu adalah sejenis makanan asam pedas daging, tapi bumbu-bumbunya ditumis dulu dan diberi sedikit kayu manis, cengkeh, dan beberapa bumbu lainnya, sehingga aromanya sangat khas. Anak-anak suka bagar itu.
Pukul setengah lima, aku memasak nasi yang kebetulan sudah habis. Anak-anak bersiap-siap. Dan ternyata apa yang aku khawatirkan, terjadi juga. Si Tata kecapekan dan segera tertidur di kursi. Tangannya masih memegang sisir.
Khawatir akan terjadi sesuatu kalau kami bertiga nekat naik motor, maka si Papa turun tangan mengantarkan pakai mobil. Tujuan pertama, Restoran Ikan Bakar Pak Ndut di Jalan Jenderal Achmad Yani, beli cah kangkung kesukaan anak-anak. Seporsi harganya Rp10.000.
Setelah itu, kami mampir ke Jalan Tjut Nja' Dhien, beli sop buah pesanan Rara dan kolak dingin buat si Tata yang sejak digendong ke dalam mobil, tetap tidak mau bangun.

Tata Seperti Sekarat
Kami tiba di halaman Masjid Agung An Nur saat pelantang masjid itu mengumandangkan ayat-ayat suci Al Quran. Si Tata masih belum bisa dibangunkan. Ia terpaksa hampir dipapah ke dalam masjid di lantai dua. Elevator tidak nyala, terpaksalah ia berjalan dengan tertatih-tatih. Aku prihatin melihatnya. Seperti orang sekarat. Mata sayu, suara nyaris tak terdengar dan ia sedikit menggigil.
"Mama... boleh minum sekarang?" rengeknya.
"Sabar Sayang, sebentar lagi ya. Dengar tuh, sudah terdengar orang mengaji, artinya sebentar lagi adzan. Rugi dong Tata..." bujukku.


Dipegangnya air mineral dengan tangan lemah dan wajah kuyu. Rara membelai punggung adiknya. Dan akhirnya adzanpun berkumandang. Semua menyantap jatah masing-masing, sop buah dan kolding. Kami lalu Shalat Maghrib berjamaah. Usai shalat, kami pergi ke halaman masjid, membentangkan selimut tua sebagai tikar, lalu mengeluarkan bekal. Tata kembali 'hidup' berkat kolding itu, dan siap untuk memulai pertengkaran dengan kakaknya, hehehe...
Mereka menyantap makan malam itu dengan lahap. Si Tata riang gembira menikmati bagar yang disebutnya 'daging lunak'. Tadi sore, Si Rara yang aku tugaskan mengisi rantang dengan nasi. Ia ternyata tidak memasukkan cukup banyak nasi. Untung aku mengantisipasi dengan melebihkan jatah nasiku, sehingga saat mereka ingin nambah, aku bisa membaginya sementara punya sendiri masih cukup mengenyangkan.


Dari masjid, terdengar ceramah agama dari seorang ustad. Judulnya sih 'Orang yang berhak menerima zakat', tapi perkiraanku, nyaris 70 persen waktu yang disediakan untuk ceramah itu, digunakan untuk membahas tentang sejarah LDII dan menegaskan bahwa organisasi itu sesat. Apaan seeeh?

Usai makan, kami menunggu waktu Shalat Isya masuk. Usai shalat, si Papa datang menjemput dan kami pulang dengan gembira. Kataku di mobil, lain kali, kalau waktu memungkinkan, boleh juga sekali-sekali mencoba shalat di Masjid Raya dekat Pasar Bawah. Anak-anak langsung memandang antusias.
"Aaa.. mantap tu Ma!" seru Rara. Baiklah, nanti kita carikan hari baiknya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar