Rabu, 27 April 2011

Memburu 'Aset' Malinda di Siak

Bengkalis Journey Part 4


Saya senang sekali menulis bagian ke empat ini, karena sejak kemarin sudah tau judulnya. Simak ya!
Begitu sampai di Sungai Pakning, kota lama yang berpenduduk heterogen, Melayu, Batak, Minang dan Tionghoa itu, kami langsung tancap gas ke Pekanbaru.
Tak sempat mampir kemana-mana, semacam toko buah atau apa, buat mencari oleh-oleh. Tak ada yang berminat untuk menenteng sesuatu buat orang rumah kayaknya nih!
Kami mampir di salah satu masjid di dekat situ. Dan Bang Hasan terkurung di wc-nya. Konon kabarnya, Adit harus menggunakan jurus silatnya untuk membuka pintu wc demi Redpel kami itu. Kalau Beliau terkurung di sana, jauh juga kami para redaktur meng-ACC halaman, hahaha....
Sebenarnya jalur yang dilalui masih yang itu juga. Tapi karena tidak ada rambu-rambu, kami masih juga perlu nanya sana-sini. Sekali waktu di daerah Teluk Mesjid, mobil kami melaju kencang di jalan mulus, lalu belok kiri dengan yakin, yang ternyata menuju sebuah jembatan. Miriplah dengan jembatan Perawang. Tapi ternyata bukan. Itu jembatan Teluk masjid yang bahkan belum tersambung kedua sisinya.
Untung Bang Haspian bisa mengendalikan mobil sehingga kami tak 'mengejar' jembatan yang belum siap itu. Sempat kami PD abis meneruskan perjalanan melalui jembatan itu, alamat aku menulis catatan perjalanan ini dari alam barzah...
Kami bertanya lagi pada orang di pertigaan itu dan dibilang, terus saja, jangan belok. Di ujung jalan, ada lagi pertigaan dan kami kebingungan lagi. Tak ada rambu. Berbekal ingatan (untung tidak ada yang amnesia), kami mengambil jalur kanan dan alhamdulillah, tidak salah.
Sekitar pukul dua siang, kami sampai di Siak dan makan siang di rumah makan Tanjung Alam. Rumah makan itu sederhana dan murah. Makanannya enak sehingga banyak yang datang ke sana. Kami mengambil satu pondok di halaman rumah makan itu.
Nyaris terjadi pertumpahan darah antara Mas Eko dengan Bang Hasan yang berebut kepala ikan gabus. Mas Eko yang menang. Dan untuk mengobati 'hati yang luka', Bang Hasan berkali-kali mengatakan sebenarnya dia yang mau memakan kepala gabus itu.
Itu dia kepala gabus yang jadi rebutan dua lelaki


Menu spesial di rumah makan ini adalah siput gulai. Ada teorinya memakan siput ini. Sedot ujungnya, lalu pangkalnya. "Cobalah, bisa itu," kata Bang Hasan.

Lomba Ncut
Mas Eko menyebutnya 'ncut-ncut'. Pembicaraan berterusan tentang ncut-ncut ini. Sampai-sampai muncul ide brillian untuk menggelar 'Lomba Ncut'. Karena belum pernah ada yang mengadakan, khayalan jadi lebih jauh melambung, bisa didaftarkan ke buku rekor MURI! Bang Hasan langsung menyambar, "Aku yang menang pasti. Dari kecil ini aja makanan aku nih."
"O nggak, bisa. Mas Hasan jadi juri aja. Ini khusus buat anak-anak," Pak Gatot cepat menyadarkan sang Redpel dari mimpinya masuk MURI.
Aku sudah membayangkan ikut lomba ncut ini. Si Tata dan Rara nanti dibujuk aja agar mau aku wakilkan. Hadiah bolehlah dibagi tiga.
Melihat kami makan dengan lahap (la iyalah, secara ini sudah pukul dua siang), Pak Gatot mengingatkan, "Jangan banyak-banyak makannya, siapkan perut buat duren. Duren Siak ini terkenal enak dan tebal lo. Kita cari yang sebesar 'asetnya' Malinda Dee."
Wah, seru nih! Maka kamipun meneruskan perjalanan ke Pekanbaru sambil nengok kiri kanan dengan siaga, mencari-cari 'aset' itu. Sempat ketemu dua pedagang yang menggantungkan dagangannya di pinggir jalan. Ukuran lebih kurang sama dengan yang kita bayangkan bersama. Tapi harganya, buseeet, Rp60 ribu! Tak mau kurang satu senpun!
"Biasa itu, harga duren disesuaikan dengan APBD Siak," kata Bang Haspian di belakang kemudi. Oh, gitu rupanya. APBD Siak memang rruar biasa besarnya. Kabupaten ini punya perusahaan minyak, macam mana tak kaya? Kalau Bengkalis punya sumur minyak, Siak punya perusahaannya. Sejak otonomi daerah, Siak berkembang sangat pesat. Siak yan semula hanya sebuah kecamatan tak penting di Kabapaten Bengkalis, dulu cuma terdiri dari Istana Siak dan beberapa rumah penduduk di sekitarnya. Saya ingat beberapa tahun yang lalu ke Siak dengan speedboat, keliling kota itu hanya bisa dilakukan dengan becak. Belum banyak kendaraan di sana dan jalan-jalan sedang dibangun. Jembatan Sulthanah Latifah belum ada. Orang menyeberang Sungai Siak dengan sampan.
Saya ingat, bernegosiasi biaya keliling kota Siak dengan tukang becak itu. Biayanya Rp40 ribu. Ngos-ngosan dia membawaku berkeliling. Ya maklumlah, tak usah dibahas ya, membuka aib sendiri itu judulnya.
Tapi acara jalan-jalan itu hanya perlu waktu sekitar satu jam saja. Dengan becak lo, bukan mobil. Masih teringat, hutan-hutan raya ditebangi untuk membangun jalan, membuka keterisoliran.
Sekarang, Siak sudah cantik.

Oke, balik ke aset Malinda Dee. Bang Hasan gagal merayu penjual duren dan kami terpaksa meneruskan perjalanan dengan kecewa. Sepanjang jalan kami memperhatikan pinggir jalan, tapi tak ada lagi yang menjual duren.
Di Perawang, kami meminta izin pada pihak PT CPI (terima kasih buat Mbak Rinta dari Humas CPI), agar mengizinkan mobil kami melewati jalan mereka. Jalan Chevron menyingkat waktu perjalanan hingga setengah jam dari Perawang ke Pekanbaru, ketimbang lewat jalan umum. Mana jalan umum banyak yang rusak, pengguna jalan ugal-ugalan lagi. Pokoknya bahaya deh!
"Ada yang tahu jalannya? Setahu saya di jalan itu juga banyak belokan. Nanti kita malah nyasar ke Minas," kata Adit.
"Tenang," kataku, "Chevron ini lebih kaya dari Siak. Jadi mereka pasti punya dana untuk membuat rambu-rambu jalan."
Benar saja, tiga puluh menit kemudian, kami muncul di Rumbai. Huuf.. lega. Walau gagal mendapatkan 'aset' Malinda, tapi senang bisa pulang ke rumah. Anak-anak, emak klean pulaaang....! (tamat)

1 komentar:

  1. duh..gak nyangka baca ini lagi di akhir desember ini di jl.sisingamangaraja....kapan yah jalan² lagi...akhir tahun...????

    BalasHapus