Senin, 25 April 2011

Sarang Walet Lebih Bagus daripada Rumah Manusia

Bengkalis Journey Part 2

Begitu melihat jembatan yang menjulang tinggi seolah menuju ke langit ke tujuh itu, anggota tim ini langsung kasak-kusuk pingin foto-foto. Biasalah, niat jeleknya tak lain tak bukan, membuat iri teman-teman di kantor yang tidak bisa ikut. Jepret!
Pak Gatot sepertinya sangat phobia dengan yang namanya pedagang. Makanan apa aja yang dijajakan, semua pingin dicobanya. Memanfaatkan ini, seorang pedagang es krim Walls mengekor kami terus. Bahkan kalau kurang segan sikit lagi aja, sudah ikut-ikutan mejeng foto bareng kami abang tukang es krim itu. Pak Gatot pun mencomot satu es krim dan anggota timnya tentu gak mau ketinggalan. Jadilah kami berpose di atas jembatan itu sambil megang itu es krim.
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan. yang paling berkesan bagiku adalah saat kami memasuki kawasan Kecamatan Bunga Raya. Sejauh mata memandang,sawah hijau menghampar luas. Duuh... sejuknya mata memandang. Jadi pengen jajan lagi, hahaha....
Selama ini saya kira Riau itu hanya dipenuhi kebun sawit dan karet. Eh, di Bunga Raya, pemandangan yang berbeda terhampar mementahkan asumsi itu. Jalanan juga relatif bagus. Beda dengan jalan menuju Sumatera Barat atau Kabupaten Rokan Hulu yang berliku-liku, di arah pesisir timur Pulau Sumatera ini, orang membangun jalan lurus sejauh mata memandang. Hanya satu sayangnya, rambu-rambu jalan, terutama di perempatan atau pertigaan, nyaris tidak ada. Terang saja kami yang memang belum pernah menempuh jalur itu, rada-rada bingung.
Untung beribu untung, Bang Haspian Tehe dengan sukarela turun dari mobil untuk bertanya pada warga setempat. Umumnya jawabnya, belok kiri, belok kiri, belok kiri terus. Sampai-sampai aku nyeletuk usil, "Belok kiri terus! Jangan-jangan kita dikerjain nih, disuruh muter-muter di sini aja."
Di sebuah pertigaan, kami temukan rambu-rambu yang aneh. Di plang itu, di bawah tanda panah ke kiri, ditulis Dumai dan kota entah apa lagi. Lalu panah ke atas, Sungai Pakning dan panah ke kanan nama kota yang lain lagi. Kami ngakak abis melihat rambu-rambu itu. Pasalnya, itu pertigaan, bukan perempatan. Jadi kalau rambu-rambu itu diikuti, terpaksa rumah penduduk di sela-sela pohon sawit kami terobos, demi sampai ke Sungai Pakning.
Untung ada penjual pisang molen di pertigaan itu lagi mangkal. Nunggu kami ya Bang? Terpaksa kami borong pisang molennya buat snack di mobil. Dialah yang memberi petunjuk bahwa kalau mau ke Sungai Pakning, kami harus belok kanan.
Kami sampai juga di Sungai Pakning, dan siap-siap menyeberang ke Pulau Bengkalis. Ada pemandangan yang cukup menyita perhatian saya di Sungai Pakning maupun di Siak Kecil. Di sini, banyak warga yang membangunan sarang burung walet. Bahkan hingga ke tengah kota Bengkalis pun kemudian, kami melihat rumah-rumah toko yang disulap menjadi sarang burung walet. Ciri-cirinya gampang sekali dikenali. Kalau rukonya tak ada jendelanya dan di dindingnya hanya dibuat lubang-lubang kecil seukuran diameter sebuah cangkir, tandanya ruko itu untuk burung walet. Tidak sedikit saya lihat, ruko dari semen berdiri tiga lantai di samping rumah penduduk yang terbuat dari kayu. Iya, lebih keren sarang walet daripada 'sarang' manusianya. Sayang tak sempat mengambil foto.
Selain itu, sepertinya antara warga keturunan Melayu, Batak dan Tionghoa, hidup berdampingan dengan damai di sini.
Kami beruntung, roro yang akan menyeberangkan kami dari Pulau Sumatera ke Pulau Bengkalis, segera berangkat. Jadwalnya, setiap satu jam sekali. Waktu itu, arloji di tangan Dona (aku gak punya arloji, hiks, hiks... ada yang mau menyumbang?) menunjukkan pukul 16.45. Seperempat jam lagi roro akan jalan. Aku senang. Ini pengalaman kedua naik roro. Dulu waktu melakukan ekspedisi ke Pulau Rupat dari Dumai, juga naik roro. Hanya 30 menit. Sekarang, lebih kurang 40 menit, tergantung kuatnya arus dan angin.
Roro yang kami tumpangi ini, lumayan bersih. Toilet cukup, ada kantin yang menyediakan pop mie, minuman kaleng, snack, televisi dengan siaran dari Malaysia (rada aneh telingaku melihat bule-bule dalam film Hollywood 'bermakcikria' dalam film itu), serta musala! Duh, girang banget ketemu musala karena aku memang belum Salat Zuhur. Jadi aku langsung salat dulu, jamak takhir. Aku terpaksa melewatkan sesi pemotretan berjudul 'Di Atas Roro', hiks hiks...
Empat puluh menit kemudian, kamipun menginjakkan kaki di Pulau Bengkalis. Nofri Slalu Dihati, kepala biro Riau Times di Bengkalis, menyambut kami di pelabuhan. Senyumnya lumayah lebar. Senang yaa?
Dia memandu kami melihat kota sepanjang 5 kilometer itu. Begitu gurauan orang-orang tentang pulau kecil itu. Jalan-jalan di tengah kota cukup luas, bahkan ada yang tiga jalur kiri-kanan. Rumah-rumah warganya, banyak yang berpagar stainless steel, seolah ini lambang kemakmuran. Demikian pula rumah-rumah dinas dan kantor pemerintahan, megah. Mungkin ini memang wajar, mengingat PAD Bengkalis sebagai penghasil minyak terbesar kedua di Indonesia.
Nofri Slalu Dihati mengundang kami ke rumahnya dan disuguhi teh panas dan pisang goreng. Hm sedaap... Maghrib, kami pergi ke hotel untuk bersih-bersih dan istirahat sejenak.
Wisata kuliner dilanjutkan malam itu. Pak Gatot pengen makan seafood. Nofri mengajak kami mencari kedai-kedai yang menyediakan seafood. Sempat muter-muter melihat kota itu.
Tapi tak ada yang berkenan. "Atau mau makanan Padang? Ada nih, langganan ambo," katanya. Hallo.... jauh-jauh ke Bengkalis masih juga harus makan masakan Padang???
Untung Bang Hasan berhasil mengontak Adi Sutrisno, kolega kami di Humas Pemkab Bengkalis. Dia mantan wartawan yang sekarang sudah PNS. Dia mengajak kami makan seafood di kantor DPC PKS Bengkalis.
Aku memesan Ikan Senangin Saus (piring kedua dari kiri). Ikan senangin ini, menurut Adi, adalah jenis ikan paling top markotop di Bengkalis. Lezat tiada tara dan jadi rebutan para nelayan.
Hidangan seafood pun dihidangkan. Lezaaat....Ada juga udang dan aku mengikuti nasehat si Abang di rumah, kalau makan udang, sekalian sama kulitnya. Itu semacam antobodi untuk mencegah alergi. Agaknya kawan kita yang satu itu sudah belajar banyak dari pengalamannya menjadi 'Satria Bergitar Sepanjang Malam', gara-gara pesta udang. Dia lupa memakan kulit udangnya, sehingga tak bisa tidur akibat gatal-gatal. Jadi sejak itu, setiap kali makan udang, aku sikat sekalian dengan kulitnya. Pesan: Berbahaya. Jangan dicobakan di rumah, bila Anda gak punya
gigi... :-P
Setelah semua terkapar kekenyangan, kami melanjutkan menghabiskan malam di Pantai Marina. Pantai itu, menjadi menarik karena kasus korupsinya yang gila-gilaan. Bayangkan saja, pantai itu ada berkat adanya reklamasi oleh Pemkab. Jadi seperti Singapura dan Belanda yang menimbuni kawasan lautnya untuk dijadikan daratan, Bengkalis juga begitu. Hebatnya, setelah itu laut ditimbun, tiba-tiba muncul seseorang yang mengklaim itu tanah nenek-moyangnya. Terpaksalah Pemkab keluar duit miliaran rupiah untuk ganti rugi.
"Jadi jangan salah Mas," kata Nofri, "Di Bengkalis ini, laut pun ada pemiliknya. Coba aja timbun kalau tak percaya, nanti pasti ada orang yang mengaku itu peninggalan nenek moyangnya."
Hampir tengah malam, kami baru balik ke hotel. Hotel itu benar-benar hotel melati (memelas hati). Pasalnya, kamar yang aku tempati dengan Dona, tempat tidurnya keras, dekil dan tanpa selimut. Belum lagi kamar mandinya, penuh nyamuk dan dindingnya kotor. Sepertinya kalau saya buka usaha jualan pembersih lantai dan keramik di sini, laku nih! Belum lagi airnya coklat, mengalahkan coklatnya teh pekat. Bagi yang tak bisa, tak usah sok hebat berkumur saat gosok gigi dengan air ini, dijamin mual!
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar