Selasa, 26 April 2011

Makan Lokan Sebesar Mouse Komputer

Bengkalis Journey Part 3


Bangun pagi, kami langsung check out. Menyesal saya, karena mengira akan balik
lagi, jadi tak mandi. Ternyata kemudian, pas injury time, dibilang, sudah check out. Ya sudahlah, maafkanlah diriku karena gak mandi, :-(
Kami pagi itu pergi sarapan. Pak Gatot yang udah kelaparan, terpaksa mengaku enak makan Indomie rebus di kedai dekat hotel. Sedang yang lain, dijamu Adi Sutrisno sarapan di Kedai Kopi Cerebon, dekat Pantai Marina.
Kedai Kopi Cerebon ini rupa-rupanya favorit para petinggi negeri. Bahkan Bupati Siak Arwin AS yang berasal dari Bengkalis, juga suka mampir di sana kalau ia berkunjung ke kampung halamannya itu.
Saya memesan soto. Saya kira akan lebih kurang samalah dengan soto-soto yang biasa dimakan di Pekanbaru. Entah itu soto Medan yang bersantan, soto Pekanbaru yang bertauge atau soto Padang yang bertabur daging sapi goreng seperti dendeng. Ternyata, ini soto yang lain lagi. Memang ada kuahnya, bihunnya dan suwiran daging ayamnya. Tapi ternyata bihunnya digoreng, Saudara-saudara, sehingga itu bihun yang biasanya mengendap di dasar mangkok, lebut di mulut, mengapung di permukaan mangkok dengan riang gembira. Sempat melongo melihatnya, gak paham, ini apa? Tapi sudahlah, lain lubuk lain sotonya...
Kami lalu pergi ke Bantan, khususnya ke Pantai Selat Baru dan Pelabuhan Bandar Seri Setia Raja, sebuah pelabuhan internasional di muara Sungai Liong. Pertama-tama, kami main-main dulu di Pantai Selat Baru. Pantai ini, mengalami abrasi yang cukup hebat dan dari tahun ke tahun, makin jauh ombak menggerus pantai ini. Adi menunjuk beberapa tonjolan batu di tengah laut yang kebetulan sedang pasang surut itu. "Itu dulu daratan, bekas rumah orang. Sekarang sudah hilang ditelan ombak," katanya.
Untunglah, Pemerintah Kabupaten Bengkalis mengambil tindakan cepat. Pantai itu ditutupi dengan sejenis matras yang cukup kuat, sehingga pasir-pasir halus tidak terseret ke dalam laut bila pasang naik dan ombak kuat menerjang. Matras biru itu konon didatangkan dari Australia.
Si Dona mengamati umang-umang yang ditemuinya di sela-sela batu karang. "Umang-umang ini, akan keluar dari sarangnya kalau ditiup," katanya. Beberapa kali ia berusaha membuktikan teorinya, sayang, gagal semua. Umang-umang Bengkalis jaga gengsi pulak rupanya di depan orang Pekanbaru, hahaha...


Di pinggir pantai, deretan pondok-pondok para pedagang, berjejer dengan rapi. Umumnya mereka menjual seafood, kelapa muda dan mie instant. Pak Gatot memesan lokan segede mouse komputer yang diolah dengan cara ditumis, lalu dimakan dengan mencelupkannya ke dalam kecap. Wih, sedaap...

Berbondong-bondongnya pasukan kami menghabiskan tiga porsi lokan itu. Bang Hasan bilang, dari semua jenis seafood, lokan itulah yang paling cepat meningkatkan kolesterol dan juga libido. "Wah, kalau gitu kita harus cepat-cepat pulang setelah ini," kata yang lain. Tapi tetap aja itu lokan gurih terus dimasukkan ke mulut.
Saking cepatnya reaksi lokan ini, Bang Hasan sampai keseleo menyebutnya 'lakon'. Kami semua dapat memakluminya. Habislah Beliau kena ledek sampai balik ke Pekanbaru.
Pak Gatot, menambah menu sarapan paginya dengan jatah makan siang si ibu yang punya warung. Ikan laut yang digoreng si ibu, tiga potong habis diembat si Bos. Ya udah, itung aja Bu. Jangan lupa, ingat wajah pelakunya ya, hahaha...

Kami meneruskan perjalanan ke Pelabuhan Internasional Bandar Seri Setia Raja (BSSR). Lokasinya sangat cocok untuk jin buang anak. Jauuuuh sekali dari pemukiman penduduk. Benar-benar di ujung terluar Bantan, tepatnya di muara Sungai Liong. Kami melihat satu speedboat sedang sandar di dermaga. Jadilah kami manfaatkan speedboat itu sebagai background foto-foto narsis.
Pelabuhan BSSR setahu saya selaku 'pemerhati' Bengkalis, tak kunjung habis dirundung masalah. Sebelumnya, lama pelabuhan itu tak difungsikan walau sudah siap. Masalahnya, tak ada kapal yang mau ke sana, karena sarana jalan menuju pusat kota. Berat di ongkos. Pelabuhan lama dipandang sudah cukup strategis.
Selain itu, izin operasional pelabuhan bertaraf internasional itu masih dipertanyakan. Ada juga yang bilang pelabuhan itu ilegal.
Masalah lainnya, Sungai Liong sepanjang waktu membawa lumpur dari hulu sehingga muara sungai itu mengalami pendangkalan. Berapa biaya pengerukannya, supaya kapal tidak tersangkut di lumpur? Empat miliar setahun! Buseeet.....Duit semua tuh Boz?
Akibat lumpur itu, pengelola speedboat yang melayani rute Bengkalis-Malaka, mencak-mencak. Pasalnya, kapal mereka tersangkut di mulut muara sungai oleh lumpur. Harus ditunggu pasang naik dulu baru kapal bisa bergerak. Menunggu ini, bisa makan waktu hingga empat jam. "Lebih lama bengongnya daripada perjalanan Bantan-Melakanya," kata penumpang, yang kebetulan anggota DPRD Bengkalis pulak. Alamak...
Pernah pula ditawarkan solusi menurunkan penumpang dengan memindahkan mereka ke kapal patroli petugas, lalu dibawa ke dermaga, sementara kapalnya sendiri nyangkut di tengah laut. Proses pemindahan ini tentu beresiko tinggi terhadap keselamatan penumpang. Pengelola dan penumpang mencak-mencak lagi.
Kesannya memang serba dipaksakan. Namun itu harus dilakukan pemerintah, karena pelabuhan bernilai miliaran rupiah itu (mana pula ada proyek di Bengkalis yang murah?) sudah terlanjur dibuat. Pemerintah mau tak mau harus memungsikannya, agar tak berubah jadi sarang hantu.
Begitulah. Setelah itu, hujan mulai turun. Awalnya gerimis, lalu tambah lebat. Rencana mau mampir ke rumah Adi, terpaksa dibatalkan. Mobil meluncur langsung ke Pelabuhan Roro. Kami mengantri sebentar lalu masuk ke roro itu.
Oh iya, sempat terjadi insiden memalukan di roro itu. Saat mobil diparkir sesuai instruksi petugas, Adit lupa menurunkan kami di tempat yang lapang. Jadilah para penumpang terkurung di dalam mobil. Pintu gak bisa dibuka sempurna karena di kiri kanan sudah ada mobil lain. mas Eko berhasil menyelip keluar. Bang Hasan dan Bang Haspian, juga sukses. Pak Gatot juga. Tinggal aku...tersangkut di pintu mobil. Gak bisa lewat karena size yang super ini. Hiks hiks...Tapi untunglah, berkat perjuangan yang gigih, berhasil juga aku lolos dari pintu maut ini. Untung juga, fotografer kami Mas Eko, sudah pergi duluan, sehingga moment bersejarah itu
hanya disaksikan segelintir orang dan tak ada yang tertarik untuk mengabadikannya. Kalau tidak, alamat dunia akan melihat aku nyangkut di pintu mobil. Hi...
Sekitar 40 menit kemudian, kami menginjakkan kaki kembali ke tanah Pulau Sumatera. Mobil dipacu menuju Pekanbaru. (bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar