Sabtu, 10 Januari 2015

Hari Keempat, Menuju Kubu Rajo di Limo Kaum, Batusangkar




Hari keempat, Senin (28/12/14), adalah hari dimana aku sudah tercatat bekerja kembali. Libur telah usai. Tapi karena pekerjaanku bisa dikerjakan di rumah, aku mohon i zin ke kantor untuk tidak ikut rapat proyeksi pagi. jam kerjaku biasanya dimulai pukul setengah dua siang.  Jadi aku katakan, kita akan pergi kemana saja asalkan pulang kembali ke Kamang pukul setengah dua. Si abang langsung setuju. 

Kami  akan pergi ke Batusangkar. Tujuan utama, komplek makam di Limo Kaum. Tapi karena di sepanjang jalan ada petunjuk arah menuju Istana Basa Pagarruyung, kenapa tidak sekalian ke sana saja?
Hari ini kami membawa serta satu lagi sepupu anak-anak, namanya Hanani. Dia sebaya dengan Lira. Dulu saat anak-anak masih kecil, dia juga kami ajak saat pergi jalan-jalan ke kebun binatang, atau ke Rumah Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. 


Kabut embun yang menyelimuti lereng Merapi pagi itu, sungguh menawan...

Perjalanan ke Batusangkar diselimuti kabut. Jalannya baru sekali itu aku lalui, perasaan. Kami dapat melihat kembali, tower PT Telkom di lereng Merapi. Rasanya tidak percaya, kemarin kami telah mencapainya.  Dan si abang  masih merasakan lututnya kosong (gamang tingkat dewa) begitu teringat terjalnya  lereng yang kami lalui kemarin.

Kami  menuju ke istana.  Sekarang parkiran  kendaraan sudah lebih rapi. Saat kami tiba, masuk pula serombongan lansia satu bus pariwisata. Belum lagi anak-anak usia sekolah. Senin yang ramai!


Harga tiket masuk untuk dewasa Rp7.000 dan anak-anak Rp5.000. baru saja menjejakkan kaki di halamannya yang luas, sudah terlihat serombongan orang berfoto ria di sana dengan latar Istano Baso.
Aku tanya sama seorang petugas, berapa orang pengunjung situs bersejarah itu setiap hari. Dia bilang ribuan. Kami berfoto-foto ria lagi.


 Sebenarnya semua disuruh angkat tangan tinggi-tinggi, tapi kok jadi begini?

Si Tata sebentar saja sudah hilang. Ia tak sabaran ingin melihat segala sudut istano itu. Sementara aku senang menyimak banyak informasi yang sodorkan, baik lewat rekaman video atau brosur. 





Atas: Tsaqif, Rara, Hanani, para datuk dan aku. Bawah: Tata menghatur sembah.


Sementara si Aqif, lagi-lagi bermasalah. Ia tak mau naik tangga kayu ke lantai dua. Ia ngeri mendengar bunyi derak kayu itu saat diinjak. Aku perhatian, kayu yang berbunyi adalah papan yang diletakkan di bagian dalam anak tangga, bukan yang di bagian luar. Artinya, papan yang bagian luar lebih kuat dan keras, aman untuk diinjak. 

Rara sudah membujuk dia sebelumnya, tapi tak mempan. Waktu aku datang dan mengajaknya, dia awalnya juga menolak. Tapi mungkin segan merengek-rengek karena aku bukan mama-papanya, akhinya dia mau juga, hehehe...

Supaya dia berani melawan rasa takutnya, aku pegangi tangan Aqif menaiki tangga itu hingga kami sampai di lantai dua. Suer, telapak tangannya terasa sangatn dingin dan berair! Tapi apa yang terjadi kemudian? Ia tak perlu dituntun lagi untuk naik ke tingkat tiga yang lebih tinggi.  Walaupun saat turun masih harus dipegangi, paling tidak ia sudah dapat mengendalikan rasa takutnya. Kita memang harus mencoba sejauh mana kemampuan kita.

Lantai dua istana merupakan ruang yang tidak terlalu luas, digunakan untuk memingit gadis-gadis perawan  yang belum menikah. 



ruang pingitan

Sementara di lantai ketiga, terdapat ruangan yang lebih kecil, digunakan untuk menyimpan benda-benda penting kerajaan, seperti pedang, keris, tombak dan sebagainya.

Si abang sudah mengajak kami semua turun. Namun aku tak sengaja menemukan jalan menuju dapur di belakang yang tertutup tirai. maka akupun pergi ke sana. Di sana kami melihat peralatan masak zaman kerajaan, terbuat dari tanah liat, bambu dan sebagainya. Tanah liat digunakan untuk membuat balango,  semacam periuk. Tak jauh dari nagari Pagarruyung ini, memang ada satu kampung yang penghidupan warganya dari membuat balango ini. 
  
 Rara dan Hanani, foto bareng belanga di dapur istana


 
 Tata menunjukkan sejumlah alat masak di dapur



Aku kira belanga itu berasal dari tanah Jawa...

“Bukan, ini asli dari Batusangka. Ado kampuang yang  mato pencarian warganyo memang mambuek balango ko. Kan ado istilahnyo dek urang tu, “tanah urang dipijaknyo, tanah inyo dijunjuangnyo”. Aritnya, ya tanah urang diinjaknyo karano awak memang bajalan di ateh tanah, samantara tanah inyo dijadian balango, dijunjuangnyo,” kata si ibu yang berjualan Masoi Bark Oil, ramuan tradisional asli Pagarruyung untuk mengobati  flu, masuk angin, sakit gigi, sakit pinggang dan lain sebagainya.

Masoi bark oil, traditional liniment, hanya ada di Istana Basa Pagarruyung

Harganya Rp40 ribu/botol. Terbuat dari akar kayu-kayuan hutan dan meninggalkan rasa panas di kulit. Baunya khas. Aku penasaran dan membeli satu botol. Si ibu berbaik hati mengoleskannya di bahuku. Entah memang dia paham cara pengobatan ini atau bagaimana, sebentar saja ia sudah bersendawa. Kata orang, tukang pijat yang sudah berpengalaman memang bisa menyedot angin dari tubuh orang yang dipijatnya lalu dikeluarkan lewat sendawa.

Ia juga mengurut kakiku yang pegal minta ampyuuun gegara kareh ati naik tangga di Koto Gadang tempo hari. Masih belum hilang rangkik-rangkiknyo sampai hari itu...

Kami lalu menuju Kecamatan Limo Kaum untuk melihat situs cagar budaya Kubu Rajo.  Dulu waktu mengajar di salah satu perguruan tinggi di Batusangkar, aku selalu melewati kawasan ini. Aku penasaran ingin melihat seperti apa di dalamnya. 

Kini, si Tata juga penasaran ingin melihat batu nisan yang melengkung ke dalam, tidak tegak lurus  seperti yang lazim digunakan saat ini. Tata bercita-cita menjadi seorang arkeolog. Ia mengaku sangat tertarik dengan benda-benda bersejarah. Jadi kesinilah kami sekarang.

Sayang, seperti halnya Ngalau Kamang yang sudah ditinggalkan bahkan dirusak, situs cagar budaya itu juga terkesan ditinggalkan. Pintu masuknya kecil saja, bahkan kita harus melompati parit kecil untuk masuk ke arealnya. Waktu kami datang, pintunya tertutup. Aku sebagai si pemberani, main buka aja. Eh, ternyata gak dikunci.

Anak-anak masuk, foto sana foto sini, sibuk mengeksplorasi. Mereka takjub melihat kehebatan para nenek moyangnya yang bisa  menulis di atas batu. Mereka memperhatikan dengan seksama tulisan jawi di atas batu itu.



Atas: Gerbang batu komplek makam tak jauh dari Istano Basa Pagarruyung.
Bawah: Salah satu makam tampak ditutupi dengan kain kuning.






 Asyik mengeksplorasi...

 Makam-makam dalam kompleks ini memiliki batu nisan yang unik
 Calon arkeolog kami, menunjukkan nisan unik di Kubu Rajo, Limo Kaum, Batusangkar

 Hanani, asyik memotret

 Prasasti Kubu Rajo

 atas: Tsaqif di pinggir kolam di belakang istana
bawah: Tsaqif dengan latar belakang istana
 bawah lagi: Lira 
paling bawah: Kami semua di jendela dapur istana

Setelah puas, kami keluar, kembali ke Bukittinggi. Aku bilang, kita  makan soto aja. Enak nih, dingin-dingin makan soto yang panas dan berkuah. Sayang, sepanjang jalan pulang, kami tak menemukannya. 

“Kita makan nasi kapau!” seru si Papa.

Jadi kami masuk ke Nagari Kapau, dekat Kamang. Kedai nasi itu seperti warteg, terletak di pinggir jalan, pakai tenda kiri kanan. Makanan dihidangkan sepiring saja, dengan lauk sesuai pesanan. Tata dan Aqif pesan ikan bakar. Rara dan Hanani makan ayam bakar. Aku dan si abang menu yang lain lagi. 

Rasanya menurutku biasa saja. Nasinya setangkup kecil. Tapi harganya, buseeett.... seporsi Rp17 rebu daaang... lebih mahal dari nasi bungkus Simpang Raya di Pekanbaru! Padahal RM Simpang Raya atau Kota Buana, Puti Buana dan lain sebagainya itu, rasanya tak semahal ini harganya. Ampuun... 

Sebagai bandar, aku ngomel-ngomel di mobil. “Makjang, mahalnya, lebih mahal dari harga nasi bungkus di restoran. Sudahlah, coretlah nasi kapau dari daftar wisata kuliner kita bang. Tekor nih!”

Kami mendarat lagi di Tilatang Kamang. Aku segera menuju komputerku. Online online...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar