Jumat (26/12/14) pagi, kami berangkat pergi liburan. Kali
ini liburannya akan sangat panjang, lebih dari seminggu. Alhamdulillah,
pekerjaanku cukup fleksibel, si abang juga. Anak-anak sedang libur semester dan
ada dua minggu harpitnas. Apa lagi?
Sebenarnya aku agak khawatir, apakah bisa kami berangkat? Si
Tata pusing-pusing sejak sepekan lalu. Tepat hari Senin usai ujian semester, ia
merasa pusing dan ujung-ujungnya muntah-muntah. Aku sangat khawatir. Ia hanya
bisa tidur telentang. Bergerak sedikit, ia mengaku kepalanya pusing. Makan
apapun, nanti bisa keluar lagi. Kasian...
Seminggu ia tidakmasuk sekolah. Beruntung ujian semester
sudah selesai dan tak ada remedial.
Praktis, menjelang penerimaan rapor, ia tidur saja di rumah. Setelah menerima rapor pun, kondisinya sering
bolak-balik, kadang baik, kadang tidak.
Karena tidak pergi kemana-mana itulah, aku menjalani puasa sunnah sejak
Senin, tepat saat anak-anak libur sekolah.
Pagi itu, dia lebih memilih tidak liburan kemana-mana,
karena sakitnya. Kami lalu membawanya ke sinse yang kami kenal. Siapa tahu
dengan pijatan sinse, kondisi Tata bisa membaik. Kami pergi bertiga pakai
motorku. Dia berdiri di depan dengan lemas.
Sementara itu Lira di rumah menyiapkan barang-barang yang akan
dibawa pulang kampung. Ya, semoga saja
kondisi Tata tak parah, sehingga kami bisa pergi liburan. Soalnya aku juga
tidak masuk kantor. Aku libur sejak Kamis hingga Minggu besok.
Sayang, sinse yang kami maksud, tidak buka hari itu. Apa
merayakan Natal juga ya? Akhirnya, kami pergi saja ke tukang urut langganan
dekat rumah. Harus menunggu lebih dari setengah jam karena ada pasien lain.
Begitu tiba gilirannya, si ibu bilang memang ada urat di punggung yang agak
sedikit melenceng. Tata diurut seperti biasa.
Alhamdulillah, setelah diurut, dia merasa lebih baik. Lalu
diputuskan, kami jadi pulang kampung. Horee! Hingga detik terakhir, tidak ada
kabar dari beberapa orang -teman si Lira
yang ingin ikut dengan kami. Ya
sudah, kami pergi berempat saja.
Koper-koper dimasukkan ke
dalam mobil. Tas, ransel, dan
juga seperangkat komputer, alat kerjaku. Laptop kami sudah jadul bingits,
baterainya tidak bisa dipakai lagi. Jadi kalau mau menggunakan laptop, harus
dicolokin terus ke listrik. Mending PC aja sekalian. Sudah familiar dengan jari
jemariku.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul sepuluh pagi dengan
dua penumpang di jok belakang. Yang satu sudah gaya abis dengan jaket musim
dinginnya yang keren, sementara yang satu lagi memeluk boneka dengan wajah pucat. Teman setia perjalanannya adalah... gayung.
Buat jaga-jaga kalau ada yang muncrat tak terkendali.
“Kita nanti makan siang di Rumah Makan Pangek Situjuah di
Payakumbuah,” aku memberi instruksi.
“Tata kalau gak muntah nanti dikasi ikan bakar. Kalau
muntah, batal ya!”
Susah payahlah anak itu menahan mual di perutnya. Tak lama
setelah memasuki wilayah Sumbar, muncrat juga apa yang kami khawatirkan. Hampir
seluruh wajahnya kecipratan. Sejak pagi ia tidak makan, jadi yang keluar hanya
air teh saja. Tapi yang namanya muntah, ah.. tak usah dibahaslah!
Kami menepi dan membereskan baju dan jilbab syar’inya yang
belepotan. Entah kemana perginya gayung tadi. Dia bersalin pakaian dengan baju
rumah yang aku ambil dari dalam koper di bagian belakang mobil.
Biasanya setelah muntah, Tata jadi lebih segar. Tapi kali
ini tidak demikian. Ia merasa masih pusing. Ia tertidur lemas di jok belakang.Berhenti di Kelok Sembilan hanya untuk mengambil foto inih.
Kami merapat di Rumah Makan Pangek Situjuah yang menawan.
Rumah makan itu dibangun di atas kolam-kolam ikan dan di hadapannya terhampar pemandangan
sawah-sawah dan gunung. Sungguh memesona. Tata langsung segar. Nasi sepiring
dengan ikan bakar kesukaannya, tandas. Ia dan Lira asik memberi makan ikan yang rakus-rakus bingit menunggu lemparan apa
saja dari atas dangau.
Seperti rumah makan padang pada umumnya, nasi dihidangkan
dalam mangkuk berukuran sedang dan lauk aneka rupa dihidangkan dalam porsi
kecil hiingga memenuhi meja. Ada ikan dan ayam bakar, dendeng, gulai kambing,
dan lain sebagainya. Kami makan berempat ditambah teh panas hanya kena
Rp110.000. Catat ya, hanya Rp110.000
dengan nasi satu mangkuk yang cukup buat berempat. Masih sisa buat ikan juga.
Di sini ada banyak kolam yang berisi ikan sungai sejenis
nila dan entah apa lagi. Aku tak tahu. Pokoknya bukan lele. Menurut salah seorang pekerja yang sore itu sekitar pukul tiga masih
menangguk ikan untuk dibakar, setiap
hari rumah makan itu menghabiskan
sekitar 8-9 keranjang ikan ukuran sedang. Berat keranjang itu sekitar 20 kg.
Ikan-ikan itu diambil dari kolam sendiri. Benar-benar laziiiss...
Tata sudah pulih 60 persen. Kenapa aku bilang 60 persen,
karena ia masih belum sanggup shalat dengan posisi berdiri. Menoleh kiri kanan
juga masih pusing. Dan masih ada perjalanan satu jam lagi menuju
Bukittinggi. Apakah dia akan memuntahkan
seluruh ikan bakar dari Situjuah ini lagi?
Ternyata tidak. Alhamdulillah. Kami sampai di rumah
mertuanya yang memang kosong. Seingatku, setiap kali pulang kampung dan
menginap di sana, hal pertama yang harus kami lakukan adalah menyapu seluruh ruangan karena penuh dengan
debu. Maklum, rumah itu kosong sejak seluruh anggota keluarga pergi merantau.
Sore harinya, datang Tsaqif, anak adikku dari Padang. Dia
aku tawari ikut liburan dengan kami. Aku
kasihan melihat dia tak bisa kemana-mana, karena ibu dan bapaknya tetap
harus bekerja. Untung dia mau. Tsaqif atau Aqif lebih tua 6 bulan dari Tata.
Dia bersekolah di MIN Padang. Kini Rara
Tata punya teman.
Hari pertama, dua batang kasur kapuk yang keras dan berat
dibawa ke ruang tengah, di depan televisi. Si abang suka tidur di sana,
diselimuti udara dingin pegunungan dan...
bau kandang ayam ras di seluruh penjuru mata angin, hahaha...
Rara, Tata dan Aqif tidur di kamar. Mereka bertiga langsung klop. Hari yang
panjang, tapi menyenangkan. Liburan dimulai...
Hari Sabtu, agenda kami adalah melihat sekitaran Kamang. Ada
danau ajaib yang disebut orang-orang sekitar Tarusan. Beberapa bulan yang lalu
kami sempat ke sana dan melihat bekas danau i tu sedang kering airnya. Banyak
anak-anak muda bermain bola di atas
pasir.
Sekarang, kawasan itu telah tergenang air. Menurut orang-orang sekitar, danau itu muncul
dengan sendirinya. Air keluar dari celah batu dan nanti hilang lagi di
sana. Tak pandang musim hujan atau musim
kemarau, bila telah tiba masanya, air
akan keluar menggenangi areal yang cukup
luas, kira-kira lebih luas dari danau kecil di Padanglua.
Tarusan ini terletak di kaki gunung. Berlapis-lapis gunung
dengan warna hijau, biru lalu abu-abu, terlihat begitu indah.
Kami juga melihat gua ini. Entah apa isinya, tapi si Tata senang memotretnya.
Kami juga melihat gua ini. Entah apa isinya, tapi si Tata senang memotretnya.
Ini adalah bukit yang diisukan berisi uranium. Ada juga yang bilang di dalamnya terkandung emas yang masih mentah sebesar kuda. Wallahualam. Tapi dilihat dari bentuknya, memang ini bukit lain sendiri. Ia tunggal, sementara bukit-bukit lainnya, berbaris-baris dari ujung pulau Sumatera yang satu ke ujung lainnya. Perhatikan juga, tidak ada pohon besar yang tumbuh di bukit itu. Adanya pohon-pohon kecil, tandanya bukit ini lebih didominasi batu, bukan tanah.
Kami menelusuri jalanan kecil yang mulus hingga sampai di Makam Tuanku Nan Renceh.
Kami menelusuri jalanan kecil yang mulus hingga sampai di Makam Tuanku Nan Renceh.
Beliau adalah salah seorang pahlawan pejuang dari
Minangkabau, seperti Tuanku Imam Bonjol. Hari itu kami melihat makamnya baru
saja dibersihkan oleh TNI. Ada karangan bunga di sana. Sayangnya, pagar di
sekitar makam tidak dibuka, sehingga kami tidak bisa masuk ke dalam untuk melihat lebih dekat.
Dikutip dari wikipediaTuanku Nan Renceh adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang
melawan penjajahan Belanda
dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri dari
tahun 1803-1838. Tidak banyak diketahui data mengenai
tokoh ini, selain seorang figur karismatik, ia juga dikenal keras dalam
menegakkan syariat Islam. Sedangkan
dari catatan Belanda, tokoh ini
merupakan sosok antagonis, dan dianggap bertanggung jawab atas adanya tindakan
kekerasan di Dataran Tinggi Padang.Nama asli dari Tuanku Nan Renceh adalah Abdullah. Ia lahir di Nagari Kamang pada tahun 1780 dan meninggal dunia dalam perang Padri. Ia merupakan murid dari Tuanku Nan Tuo.[1] Ia kemudian menjadi guru yang banyak melahirkan pejuang perang Padri.
Kedatangan tiga orang haji dari Mekah tahun 1803 telah mengilhami Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mulai mengumandangan jihad atas segala bid'ah di Minangkabau.[1] Ide-ide pembaharuan yang diterapkan Tuanku Nan Renceh terhadap perubahan kebiasaan masyarakat termasuk model sistem adat matrilineal mendapat tantangan dari para penghulu pada beberapa nagari di Minangkabau sehingga kemudian melahirkan gerakan Paderi dengan pendekatan konflik.
Disebut nan renceh karena beliau bertubuh kecil (renceh rupanya artinya kecil,
saudara-saudara). Apa dari sana asal kata receh? Uang receh berarti uang kecil
kan? Setelah dari sana, kami meneruskan perjalanan mencari Ngalau Kamang.
Tuanku Nan Renceh juga merupakan satu dari Harimau Nan Salapan
(Harimau yang delapan). Mereka menyebarkan ajaran Islam di Tanah Minangkabau. Harimau
nan Salapan terdiri dari Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang,
Tuanku di Ladang Laweh, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto
Ambalau dan Tuanku di Lubuk Aur. Prinsip Harimau Nan Salapan, ajaran murni
Islam harus ditegakkan di setiap nagari meskipun pedang harus bicara!
Ini perjalanan nostalgia. Dulu semasa SD, aku pernah dibawa
bapakku jalan-jalan ke Ngalau Kamang ini. Di dalamnya aku dapat menyentuh
stalagtit dan stalagnit. Ini sangat berkesan karena aku masih mengingatnya
sampai sekarang. Aku juga masih ingat,
betapa menolongnya kunjungan itu saat ada pelajaran IPA di sekolah.
Pengalaman itulah yang ingin aku berikan pada anak-anakku.
Maka kamipun mencari-cari ngalau itu. Sayang seribu sayang, ngalau atau gua itu
sudah tak terawat lagi. Stalagtit yang dulu muncul dari langit-langit gua seperti
gigi taring akibat proses alam selama ratusan atau mungkin ribuan tahun, kini
sudah dipangkas manusia demi uang.
Demikian pula dengan stalagnit yang seolah muncul dari dalam tanah,
sudah rata semua. Ngalau Kamang kini tak ada ubahnya dengan gua biasa tempat
burung layang-layang bersarang.
Memang, tak jauh dari
ngalau itu, ada penambangan batu kapur. Mereka konon menggunakan dinamit
untuk menghancurkan dinding bukit. Batu-batu kapur ini, setiap malam bertruk-truk
dikirim ke pabrik kertas IKPP di Perawang, Riau, untuk dijadikan bahan bakar.
Aku tak berani masuk ke dalam ngalau itu. Apalagi kami tidak membawa alat penerangan apapun. Tanpa pemandu, tanpa ada orang yang tahu bahwa kami masuk ke sana, sungguh adalah pekerjaan yang sia-sia.
Aku tak berani masuk ke dalam ngalau itu. Apalagi kami tidak membawa alat penerangan apapun. Tanpa pemandu, tanpa ada orang yang tahu bahwa kami masuk ke sana, sungguh adalah pekerjaan yang sia-sia.
Tapi aku tetap menerangkan pada anak-anak apa itu stalagtit
dan stalagnit. Walau sedikit kecewa, tapi foto-foto selfie gak boleh lupa loh!
Hari masih panjang. Kami meneruskan perjalanan ke Great Wall
Koto Gadang. Ini benar-benar uji nyali,
baik untuk aku, maupun Aqif yang phobia ketinggian. Aku penasaran ini mencoba,
sejauh mana kekuatanku.
Kami memulai perjalanan di lereng Ngarai Sianok. Great Wall
atau Janjang Koto Gadang itu, membentang dari tebing Ngarai, terus ke bawah, lalu mendaki ke lereng-lereng
bukit hingga tembus ke daerah Koto Gadang. Kalau kita menyewa ojek dari titik awal, terus berjalan
melingkar sesuai jalur kendaraan menuju Koto Gadang, ongkosnya Rp15 rebu. Itu
tanda jaraknya bukanlah dekat mak oooi.
Awalnya, aku dan Tata masih bisa foto-foto sok manis di
jalan setapak berpaving block yang menurun. Semua terasa santai. Namun di ujung
jalan, kami harus berhadapan dengan jembatan kayu yang berayun-ayun dari
pinggir tebing ngarai di sini ke tebing di seberang sana. Di bawahnya,
kira-kira 30 meter di dasar ngarai, air sungai mengalir dengan tenang.
Jembatan kayu itu hanya mampu menahan beban 10 orang (aku
tentu dihitung dua, hahaha...), jadi harus giliran antara yang mau menyerang
dari ujung sini dengan yang di ujung sana.
Jembatan inilah yang menaklukkan Aqif. Ia tak berani.
Sebelumnya ia sudah datang ke sini dengan ibu bapaknya, ia memilih tak ikut
naik jembatan. Sekarang pergi dengan
kami, tak ada cerita takut.
Aku dan Tata maju lebih dulu. Walau sedikit gamang, kami
terus saja. Baca saja Bismillah. Bahkan aku yang usil berkata pada Tata, saat
kami sudah hampir sampai di seberang. “Yok kita goyang-goyangkan jembatannya
Ta, si Aqif takut tuh!”
“Is, apalah mama nii...” kata si Tata gemas.
Di belakang kami, Rara masih belum berhasil membujuk Aqif
untuk mencoba menyeberang lewat jembatan itu.
“Ndak papa do.. sini kakak pegangkan tangan Aqif.
Ayoklaaa...” si Rara masih membujuk.
Aqif masih merengek-rengek, bergerak gelisah kesana dan
kemari, mencoba menghindar. Setelah sekian
menit membujuk dia, akhirnya aku lihat dia ditarik oleh si abang dan
Rara melewati jembatan itu. Sepanjang
jalan, ia membungkuk, tak berani liat kiri-kanan. Aku dan Tata terbaha-bahak di
seberang.
Lalu perjalanan berat itupun dimulai. Jenjang batu yang
cukup terjal, dengan jumlah anak tangga sekitar 20-30, menanti di depan mata. Jenjang-jenjang ini merayap di tebing yang
terjal. Di beberapa titik yang cukup ekstrem, dipasang pegangan di dinding
jenjang.
Perutku yang baru
saja diisi dengan makan pagi, terasa sakit gegara naik tangga ini. Aku perpegangan
di pinggir jenjang. Napas jadi satu-satu. Perlahan-lahan aku melanjutkan pendakian. Alangkah
leganya saat telah sampai di tempat yang datar. Aku langsung menarik napas
lega.
Si abang sudah duluan sampai di atas. Melihat aku yang baru saja menyelesaikan pendakian sesi kedua yang cukup terjal dan melihat betapa parahnya kondisiku, ia senyum-senyum.
Si abang sudah duluan sampai di atas. Melihat aku yang baru saja menyelesaikan pendakian sesi kedua yang cukup terjal dan melihat betapa parahnya kondisiku, ia senyum-senyum.
“Yan, geser ke sini sikit,” kata si abang. Rupanya dia
khawatir, kalau aku pusing atau jatuh pingsan, bisa langsung terguling-guling ke bawah sana. Posisi
berdiriku terlalu ke pinggir jenjang.
Sementara itu udara terasa bersih, segar habis hujan. Matahari
bersinar. Di kejauhan, entah di di arah mana, terlihat pinggiran Panorama,
tempat orang biasa ambil foto-foto selfie itu loh...
Aqif lagi-lagi menyerah. Dia tak mau mencoba naik jenjang
itu. Tata sudah sampai di atas bersama papanya. Rara masih sibuk membujuk Aqif
agar mau mencoba.
Dia lebih memilih menunggu saja di sana, sampai kami
menyelesaikan pendakian. Akhirnya si
Rara ditugaskan menjagai dia. Si abang melanjutkan pendakian. Tata ikut turun,
bergabung dengan Aqif.
Aku tinggal di tengah sendirian. Kata si emak yang jualan minuman di situ,
masih ada sekitar 200-an anak tangga lagi hingga kami tiba di ujungnya, di Nagari
Koto Gadang. Kemiringan jenjang mungkin hampir 70 derajat. Aku masih penasaran,
seperti apa ujung jenjang ini. Maka akupun meneruskan pendakian, selangkah demi
selangkah.
Hingga akhirnya aku tiba di ujung jenjang, ada warung-warung
kayu menunggu para pendaki. Aneka makanan dan minuman tersedia dengan harga yang tentu lebih mahal. Si abang keluar
dari salah satu kedai. Ia menyempatkan
mengambil foto aku yang terengah-engah mengumpulkan nyawa sambil bersandar di
dinding jenjang.
"Abang jemputlah anak-anak di bawah sana. Habis tu jemput sini balek. Pakai MOBIL!"
Aku rasanya sudah tak kuat lagi untuk menuruni jenjang
itu. Aku bilang, “Abang pergilah temui
anak-anak, nanti jemput Yani ke sini
lagi pakai mobil.”
Tapi setelah dibujuk-bujuk, akhirnya kami menuruni tangga
itu lagi satu demi satu, perlahan-lahan. Macam pengantin baru deh, hehehe...
bagandeng tangan, menyusuri janjang kenangan. (kenangan pernah sasak angok di siko...)
Sampai di titik dimana anak-anak tadi kami tinggal, ternyata
mereka sudah tidak ada! Rupanya Rara sudah
memimpin mereka semua kembali ke seberang sungai. Berarti dia sukses
mensugesti si Aqif yang phobia ketinggian sehingga berhasil menyeberang di
jembatan gantung itu. Hebat hebat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar