Kamis, 08 Januari 2015

liburaaan....



Jumat (26/12/14) pagi, kami berangkat pergi liburan. Kali ini liburannya akan sangat panjang, lebih dari seminggu. Alhamdulillah, pekerjaanku cukup fleksibel, si abang juga. Anak-anak sedang libur semester dan ada dua minggu harpitnas. Apa lagi?
Sebenarnya aku agak khawatir, apakah bisa kami berangkat? Si Tata pusing-pusing sejak sepekan lalu. Tepat hari Senin usai ujian semester, ia merasa pusing dan ujung-ujungnya muntah-muntah. Aku sangat khawatir. Ia hanya bisa tidur telentang. Bergerak sedikit, ia mengaku kepalanya pusing. Makan apapun, nanti bisa keluar lagi. Kasian...
Seminggu ia tidakmasuk sekolah. Beruntung ujian semester sudah selesai dan tak ada remedial.  Praktis, menjelang penerimaan rapor, ia tidur saja di rumah.  Setelah menerima rapor pun, kondisinya sering bolak-balik, kadang baik, kadang tidak.  Karena tidak pergi kemana-mana itulah, aku menjalani puasa sunnah sejak Senin, tepat saat anak-anak libur sekolah.
Pagi itu, dia lebih memilih tidak liburan kemana-mana, karena sakitnya. Kami lalu membawanya ke sinse yang kami kenal. Siapa tahu dengan pijatan sinse, kondisi Tata bisa membaik. Kami pergi bertiga pakai motorku. Dia berdiri di depan dengan lemas.
Sementara itu Lira di rumah menyiapkan barang-barang yang akan dibawa pulang  kampung. Ya, semoga saja kondisi Tata tak parah, sehingga kami bisa pergi liburan. Soalnya aku juga tidak masuk kantor. Aku libur sejak Kamis hingga Minggu besok.
Sayang, sinse yang kami maksud, tidak buka hari itu. Apa merayakan Natal juga ya? Akhirnya, kami pergi saja ke tukang urut langganan dekat rumah. Harus menunggu lebih dari setengah jam karena ada pasien lain. Begitu tiba gilirannya, si ibu bilang memang ada urat di punggung yang agak sedikit melenceng. Tata diurut seperti biasa.
Alhamdulillah, setelah diurut, dia merasa lebih baik. Lalu diputuskan, kami jadi pulang kampung. Horee! Hingga detik terakhir, tidak ada kabar dari beberapa orang -teman si Lira  yang ingin ikut dengan kami.  Ya sudah, kami pergi berempat saja.
Koper-koper dimasukkan ke  dalam  mobil. Tas, ransel, dan juga seperangkat komputer, alat kerjaku. Laptop kami sudah jadul bingits, baterainya tidak bisa dipakai lagi. Jadi kalau mau menggunakan laptop, harus dicolokin terus ke listrik. Mending PC aja sekalian. Sudah familiar dengan jari jemariku.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul sepuluh pagi dengan dua penumpang di jok belakang. Yang satu sudah gaya abis dengan jaket musim dinginnya yang keren, sementara yang satu lagi memeluk boneka  dengan wajah pucat.  Teman setia perjalanannya adalah... gayung. Buat jaga-jaga kalau ada yang muncrat tak terkendali.
“Kita nanti makan siang di Rumah Makan Pangek Situjuah di Payakumbuah,” aku memberi instruksi.
“Tata kalau gak muntah nanti dikasi ikan bakar. Kalau muntah, batal ya!”

Susah payahlah anak itu menahan mual di perutnya. Tak lama setelah memasuki wilayah Sumbar, muncrat juga apa yang kami khawatirkan. Hampir seluruh wajahnya kecipratan. Sejak pagi ia tidak makan, jadi yang keluar hanya air teh saja. Tapi yang namanya muntah, ah.. tak usah dibahaslah!
Kami menepi dan membereskan baju dan jilbab syar’inya yang belepotan. Entah kemana perginya gayung tadi. Dia bersalin pakaian dengan baju rumah yang aku ambil dari dalam koper di bagian belakang mobil.
Biasanya setelah muntah, Tata jadi lebih segar. Tapi kali ini tidak demikian. Ia merasa masih pusing. Ia tertidur lemas di jok belakang.



Berhenti di Kelok Sembilan hanya untuk mengambil foto inih.

Kami merapat di Rumah Makan Pangek Situjuah yang menawan. Rumah makan itu dibangun di atas kolam-kolam ikan dan di hadapannya terhampar pemandangan sawah-sawah dan gunung. Sungguh memesona. Tata langsung segar. Nasi sepiring dengan ikan bakar kesukaannya, tandas. Ia dan Lira asik memberi makan ikan  yang rakus-rakus bingit menunggu lemparan apa saja dari atas dangau.
Seperti rumah makan padang pada umumnya, nasi dihidangkan dalam mangkuk berukuran sedang dan lauk aneka rupa dihidangkan dalam porsi kecil hiingga memenuhi meja. Ada ikan dan ayam bakar, dendeng, gulai kambing, dan lain sebagainya. Kami makan berempat ditambah teh panas hanya kena Rp110.000. Catat ya,  hanya Rp110.000 dengan nasi satu mangkuk yang cukup buat berempat. Masih sisa buat ikan juga.

Di sini ada banyak kolam yang berisi ikan sungai sejenis nila dan entah apa lagi. Aku tak tahu. Pokoknya bukan lele.  Menurut salah seorang pekerja  yang sore itu sekitar pukul tiga masih menangguk ikan untuk dibakar, setiap  hari rumah makan itu  menghabiskan sekitar 8-9 keranjang ikan ukuran sedang. Berat keranjang itu sekitar 20 kg. Ikan-ikan itu diambil dari kolam sendiri. Benar-benar laziiiss...
Tata sudah pulih 60 persen. Kenapa aku bilang 60 persen, karena ia masih belum sanggup shalat dengan posisi berdiri. Menoleh kiri kanan juga masih pusing. Dan masih ada perjalanan satu jam lagi menuju Bukittinggi.  Apakah dia akan memuntahkan seluruh ikan bakar dari Situjuah ini lagi?
Ternyata tidak. Alhamdulillah. Kami sampai di rumah mertuanya yang memang kosong. Seingatku, setiap kali pulang kampung dan menginap di sana, hal pertama yang harus kami lakukan adalah  menyapu seluruh ruangan karena penuh dengan debu. Maklum, rumah itu kosong sejak seluruh anggota keluarga pergi merantau.
Sore harinya, datang Tsaqif, anak adikku dari Padang. Dia aku tawari ikut liburan dengan kami. Aku  kasihan melihat dia tak bisa kemana-mana, karena ibu dan bapaknya tetap harus bekerja. Untung dia mau. Tsaqif atau Aqif lebih tua 6 bulan dari Tata. Dia bersekolah di MIN Padang.  Kini Rara Tata punya teman.
Hari pertama, dua batang kasur kapuk yang keras dan berat dibawa ke ruang tengah, di depan televisi. Si abang suka tidur di sana, diselimuti udara dingin pegunungan dan...  bau kandang ayam ras di seluruh penjuru mata angin, hahaha...
Rara, Tata dan Aqif tidur di kamar.  Mereka bertiga langsung klop. Hari yang panjang, tapi menyenangkan. Liburan dimulai...
Hari Sabtu, agenda kami adalah melihat sekitaran Kamang. Ada danau ajaib yang disebut orang-orang sekitar Tarusan. Beberapa bulan yang lalu kami sempat ke sana dan melihat bekas danau i tu sedang kering airnya. Banyak anak-anak  muda bermain bola di atas pasir.



Sekarang, kawasan itu telah tergenang air.  Menurut orang-orang sekitar, danau itu muncul dengan sendirinya. Air keluar dari celah batu dan nanti hilang lagi di sana.  Tak pandang musim hujan atau musim kemarau, bila telah tiba masanya,  air akan keluar menggenangi areal  yang cukup luas, kira-kira lebih luas dari danau kecil di Padanglua.
Tarusan ini terletak di kaki gunung. Berlapis-lapis gunung dengan warna hijau, biru lalu abu-abu, terlihat begitu indah.


Kami juga melihat gua  ini. Entah apa isinya, tapi si Tata senang memotretnya.

Ini adalah bukit yang diisukan berisi uranium. Ada juga yang bilang di dalamnya terkandung emas yang masih mentah sebesar kuda. Wallahualam. Tapi dilihat dari bentuknya, memang ini bukit lain sendiri. Ia tunggal, sementara bukit-bukit lainnya, berbaris-baris dari ujung pulau Sumatera yang satu ke ujung lainnya. Perhatikan juga, tidak ada pohon besar yang tumbuh di bukit itu. Adanya pohon-pohon kecil, tandanya bukit ini lebih didominasi batu, bukan tanah.

Kami menelusuri jalanan kecil yang mulus hingga sampai di Makam Tuanku Nan Renceh.
Beliau adalah salah seorang pahlawan pejuang dari Minangkabau, seperti Tuanku Imam Bonjol. Hari itu kami melihat makamnya baru saja dibersihkan oleh TNI. Ada karangan bunga di sana. Sayangnya, pagar di sekitar makam tidak dibuka, sehingga kami tidak bisa  masuk ke dalam untuk melihat lebih dekat.

Dikutip dari wikipediaTuanku Nan Renceh adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan penjajahan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri dari tahun 1803-1838. Tidak banyak diketahui data mengenai tokoh ini, selain seorang figur karismatik, ia juga dikenal keras dalam menegakkan syariat Islam. Sedangkan dari catatan Belanda, tokoh ini merupakan sosok antagonis, dan dianggap bertanggung jawab atas adanya tindakan kekerasan di Dataran Tinggi Padang.


Nama asli dari Tuanku Nan Renceh adalah Abdullah. Ia lahir di Nagari Kamang pada tahun 1780 dan meninggal dunia dalam perang Padri. Ia merupakan murid dari Tuanku Nan Tuo.[1] Ia kemudian menjadi guru yang banyak melahirkan pejuang perang Padri.
Kedatangan tiga orang haji dari Mekah tahun 1803 telah mengilhami Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mulai mengumandangan jihad atas segala bid'ah di Minangkabau.[1] Ide-ide pembaharuan yang diterapkan Tuanku Nan Renceh terhadap perubahan kebiasaan masyarakat termasuk model sistem adat matrilineal mendapat tantangan dari para penghulu pada beberapa nagari di Minangkabau sehingga kemudian melahirkan gerakan Paderi dengan pendekatan konflik.
Disebut nan renceh karena beliau bertubuh kecil  (renceh rupanya artinya kecil, saudara-saudara). Apa dari sana asal kata receh? Uang receh berarti uang kecil kan? Setelah dari sana, kami meneruskan perjalanan mencari Ngalau Kamang.

Tuanku Nan Renceh juga merupakan satu dari Harimau Nan Salapan (Harimau yang delapan). Mereka menyebarkan ajaran Islam di Tanah Minangkabau. Harimau nan Salapan terdiri dari Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Laweh, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau dan Tuanku di Lubuk Aur. Prinsip Harimau Nan Salapan, ajaran murni Islam harus ditegakkan di setiap nagari meskipun pedang harus bicara!
Ini perjalanan nostalgia. Dulu semasa SD, aku pernah dibawa bapakku jalan-jalan ke Ngalau Kamang ini. Di dalamnya aku dapat menyentuh stalagtit dan stalagnit. Ini sangat berkesan karena aku masih mengingatnya sampai sekarang. Aku juga  masih ingat, betapa menolongnya kunjungan itu saat ada pelajaran IPA di sekolah.
Pengalaman itulah yang ingin aku berikan pada anak-anakku. Maka kamipun mencari-cari ngalau itu. Sayang seribu sayang, ngalau atau gua itu sudah tak terawat lagi. Stalagtit yang dulu muncul dari langit-langit gua seperti gigi taring akibat proses alam selama ratusan atau mungkin ribuan tahun, kini sudah dipangkas manusia demi uang.  Demikian pula dengan stalagnit yang seolah muncul dari dalam tanah, sudah rata semua. Ngalau Kamang kini tak ada ubahnya dengan gua biasa tempat burung layang-layang bersarang.

Memang, tak jauh dari  ngalau itu, ada penambangan batu kapur. Mereka konon menggunakan dinamit untuk menghancurkan dinding bukit. Batu-batu kapur ini, setiap malam bertruk-truk dikirim ke pabrik kertas IKPP di Perawang, Riau, untuk dijadikan bahan bakar.

Aku tak berani masuk ke dalam ngalau itu. Apalagi kami tidak membawa alat penerangan apapun. Tanpa pemandu, tanpa ada orang yang tahu bahwa  kami masuk ke sana, sungguh adalah pekerjaan yang sia-sia.
Tapi aku tetap menerangkan pada anak-anak apa itu stalagtit dan stalagnit. Walau sedikit kecewa, tapi foto-foto selfie gak boleh lupa loh!

Hari masih panjang. Kami meneruskan perjalanan ke Great Wall Koto Gadang.  Ini benar-benar uji nyali, baik untuk aku, maupun Aqif yang phobia ketinggian. Aku penasaran ini mencoba, sejauh mana kekuatanku.
Kami memulai perjalanan di lereng Ngarai Sianok. Great Wall atau Janjang Koto Gadang itu, membentang dari tebing Ngarai,  terus ke bawah, lalu mendaki ke lereng-lereng bukit hingga tembus ke daerah Koto Gadang. Kalau kita  menyewa ojek dari titik awal, terus berjalan melingkar sesuai jalur kendaraan menuju Koto Gadang, ongkosnya Rp15 rebu. Itu tanda jaraknya bukanlah dekat mak oooi.

Awalnya, aku dan Tata masih bisa foto-foto sok manis di jalan setapak berpaving block yang menurun. Semua terasa santai. Namun di ujung jalan, kami harus berhadapan dengan jembatan kayu yang berayun-ayun dari pinggir tebing ngarai di sini ke tebing di seberang sana. Di bawahnya, kira-kira 30 meter di dasar ngarai, air sungai mengalir dengan tenang.

Jembatan kayu itu hanya mampu menahan beban 10 orang (aku tentu dihitung dua, hahaha...), jadi harus giliran antara yang mau menyerang dari ujung sini dengan yang di ujung sana.
Jembatan inilah yang menaklukkan Aqif. Ia tak berani. Sebelumnya ia sudah datang ke sini dengan ibu bapaknya, ia memilih tak ikut naik jembatan.  Sekarang pergi dengan kami, tak ada cerita takut.
Aku dan Tata maju lebih dulu. Walau sedikit gamang, kami terus saja. Baca saja Bismillah. Bahkan aku yang usil berkata pada Tata, saat kami sudah hampir sampai di seberang. “Yok kita goyang-goyangkan jembatannya Ta, si Aqif takut tuh!”
“Is, apalah mama nii...” kata si Tata gemas.
Di belakang kami, Rara masih belum berhasil membujuk Aqif untuk mencoba menyeberang lewat jembatan itu.
“Ndak papa do.. sini kakak pegangkan tangan Aqif. Ayoklaaa...” si Rara masih membujuk.
Aqif masih merengek-rengek, bergerak gelisah kesana dan kemari, mencoba menghindar. Setelah sekian  menit membujuk dia, akhirnya aku lihat dia ditarik oleh si abang dan Rara melewati  jembatan itu. Sepanjang jalan, ia membungkuk, tak berani liat kiri-kanan. Aku dan Tata terbaha-bahak di seberang.
Lalu perjalanan berat itupun dimulai. Jenjang batu yang cukup terjal, dengan jumlah anak tangga sekitar 20-30,  menanti di depan mata.  Jenjang-jenjang ini merayap di tebing yang terjal. Di beberapa titik yang cukup ekstrem, dipasang pegangan di dinding jenjang.
Perutku  yang baru saja diisi dengan makan pagi, terasa sakit gegara naik tangga ini. Aku perpegangan di pinggir jenjang. Napas jadi satu-satu.  Perlahan-lahan aku melanjutkan pendakian. Alangkah leganya saat telah sampai di tempat yang datar. Aku langsung menarik napas lega.

 Si abang sudah duluan sampai di atas. Melihat aku yang baru saja menyelesaikan pendakian sesi kedua yang cukup terjal dan melihat betapa parahnya kondisiku,  ia senyum-senyum.
“Yan, geser ke sini sikit,” kata si abang. Rupanya dia khawatir, kalau aku pusing atau jatuh pingsan,  bisa langsung terguling-guling ke bawah sana. Posisi berdiriku terlalu ke pinggir jenjang.
Sementara itu udara terasa bersih, segar habis hujan. Matahari bersinar. Di kejauhan, entah di di arah mana, terlihat pinggiran Panorama, tempat orang biasa ambil foto-foto selfie itu loh...
Aqif lagi-lagi menyerah. Dia tak mau mencoba naik jenjang itu. Tata sudah sampai di atas bersama papanya. Rara masih sibuk membujuk Aqif agar mau mencoba.
“Bukan masalah naiknya, tapi turunnya nanti...” kata Aqif.


Dia lebih memilih menunggu saja di sana, sampai kami menyelesaikan pendakian.  Akhirnya si Rara ditugaskan menjagai dia. Si abang melanjutkan pendakian. Tata ikut turun, bergabung dengan Aqif.
Aku tinggal di tengah sendirian.  Kata si emak yang jualan minuman di situ, masih ada sekitar 200-an anak tangga lagi hingga kami tiba di ujungnya, di Nagari Koto Gadang. Kemiringan jenjang mungkin hampir 70 derajat. Aku masih penasaran, seperti apa ujung jenjang ini. Maka akupun meneruskan pendakian, selangkah demi selangkah.
Hingga akhirnya aku tiba di ujung jenjang, ada warung-warung kayu menunggu para pendaki. Aneka makanan dan minuman tersedia dengan  harga yang tentu lebih mahal. Si abang keluar dari salah satu kedai.  Ia menyempatkan mengambil foto aku yang terengah-engah mengumpulkan nyawa sambil bersandar di dinding jenjang.

"Abang jemputlah anak-anak di bawah sana. Habis tu jemput sini balek. Pakai MOBIL!"
 
Aku rasanya sudah tak kuat lagi untuk menuruni jenjang itu.  Aku bilang, “Abang pergilah temui anak-anak, nanti jemput Yani  ke sini lagi pakai mobil.”
Tapi setelah dibujuk-bujuk, akhirnya kami menuruni tangga itu lagi satu demi satu, perlahan-lahan. Macam pengantin baru deh, hehehe...


 bagandeng tangan, menyusuri janjang kenangan. (kenangan pernah sasak angok di siko...)
Sampai di titik dimana anak-anak tadi kami tinggal, ternyata mereka sudah tidak ada! Rupanya Rara sudah  memimpin mereka semua kembali ke seberang sungai. Berarti dia sukses mensugesti si Aqif yang phobia ketinggian sehingga berhasil menyeberang di jembatan gantung itu. Hebat hebat...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar