Hari ketiga
Hari Minggu, agendanya adalah mendaki lereng Gunung
Merapi. Kalau kemarin temanya nostalgia masa kecil mama, hari ini si papa yang
bernostalgia. Rupanya dulu waktu masih bujang kecik, dia pernah naik ke lereng
Gunung Merapi dengan sepeda motor.
Foto atas, Gunung Merapi, dilihat dari Kamang. Bawah, titik yang akan kami tuju
Jadi hari ini kami akan mendaki ke sana. Untuk mencapainya,
kami harus balik dulu dari Kamang ke Baso. Dari arah Bukittinggi, mobil
membelok ke arah kanan, masuk ke Nagari V Suku Canduang. Jalanannya kecil,
beraspal mulus. Udara pegunungan terasa dingin menerpa wajah.
Si Tata sudah sudah sehat wal afiat. Ia tampak gembira. Si Rara
memilih tidur di dalam mobil menunggu kami mendarat di lereng tertinggi yang
bisa dilalui mobil di Gunung Merapi itu.
Karena sudah lama sekali, si papa lupa jalan yang harus kami lewati. Hingga kami tibalah di Jorong
Labuang. Kalau kami masih melanjutkan jalan lurus ke depan, entah akan sampai
dimana. Maka si abang bertanya pada penduduk setempat.
Lelaki tua yang ramah, menjelaskan kepada kami, bahwa jalan
itu buntu di ujung sana. Kalau kami mau ke lereng yang kami maksud, kami harus
balik lagi, nanti di Jorong Bingkudu,
belok ke kanan. Kami mengucapkan terima kasih dan si bapak dengan ramah
menawarkan mampi r ke rumahnya. Oh, so
touching...
Kalau perjalanan di lereng-lereng gunung seperti ini, dengan
rumah-rumah sederhana dan tua, dengan
halaman yang penuh tanaman, dengan air di parit yang mengalir deras dan padi yang menguning, hewan-hewan peliharaan dan
penduduk yang bersahaja, maka akulah
yang paling bahagia.
Rumah tua di pedesaan yang bersahaja, dengan pekarangan, kebun bunga dan sayur. teras dengan dua kursi dan secangkir kopi susu...
Cita-cita masa tuaku adalah tinggal di daerah sejuk seperti
ini. Hidup sederhana, bercocok tanam, menikmati hidup dengan bahagia. Tidak perlu
televisi dengan hingar bingarnya. Tidak perlu ke mal setiap minggu untuk
refreshing. Cukup duduk di teras rumah menikmati angin semilir dari pegunungan,
bau tanah dan bunga-bunga. Ditemani secangkir kopi susu panas yang sebentar saja
sudah dingin. Itu gambaran ideal masa tuaku sampai hari ini.
Kami akhirnya menemukan jalan yang benar. Jalan itu mendaki
di lereng-lereng gunung Merapi. Si abang berkata, kalau melihat ke dalamnya
jurang di pinggir jalan, ia merasa lututnya jadi kosong. Gamang tingkat dewa.
Di sepanjang lereng ini, penduduk hidup dari bercocok tanam.
Kami melihat ada banyak kulit manis yang
dijemur di pinggir jalan. Di kebun-kebun, ada cengkeh dan tanaman palawija. Bawang,
ubi, talas, labu siam atau orang Minang menyebutnya japan, tumbuh subur.
Pemandangan Kota Bukittinggi dan sekitarnya, dilihat dari lereng Merapi.
Makin ke atas, makin buruk kondisi aspal jalan. Kami hampir
tak pernah berpapasan dengan kendaraan lain. Jalanan yang melingkari pinggang
Merapi itu, hanya cukup untuk satu mobil.
Angin tidak lagi semilir.
Akhirnya kami tiba di titik perhentian terakhir. Ada dua
orang pria sedang menyortir tomat. Sepertinya akan ‘diekspor’ ke Riau tuh. Ada pondok
di pinggir jalan, dekat petani-petani itu. Dari arah pondok itu terdengar bunyi
rengekan yang semula aku kira suara anak kecil. Gak taunya... suaro kambiang! Pantesan
bau pesingnya kuat banget.
Juga musik gamat terdengar cukup keras lewat loud speker. Kami yang tua tua serasa balik zaman masih
kecik-kecik dulu...
Ternyata tower itu milik Telkom...
Kami foto-foto lagi di sana. Angin bertiup lebih kencang.
Dari atas itu, kami bisa melihat
kota Bukittinggi hingga jauh. Di ujung sana, ada deretan Bukit Barisan, sambung
menyambung. Di bawah kami, ada jalan menuju Batusangkar. Hanya perlu satu
jam perjalanan mobil dari Baso menuju Batusangkar. Kami akan pergi ke sana,
beberapa hari lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar