Jumat, 09 Januari 2015

Ke Lereng Merapi



Hari ketiga

Hari Minggu, agendanya adalah mendaki lereng Gunung Merapi. Kalau kemarin temanya nostalgia masa kecil mama, hari ini si papa yang bernostalgia. Rupanya dulu waktu masih bujang kecik, dia pernah naik ke lereng Gunung Merapi dengan sepeda motor.


Foto atas, Gunung Merapi, dilihat dari Kamang. Bawah, titik yang akan kami tuju


Jadi hari ini kami akan mendaki ke sana. Untuk mencapainya, kami harus balik dulu dari Kamang ke Baso. Dari arah Bukittinggi, mobil membelok ke arah kanan, masuk ke Nagari V Suku Canduang. Jalanannya kecil, beraspal mulus. Udara pegunungan terasa dingin menerpa wajah.

Si Tata sudah sudah sehat wal afiat. Ia tampak gembira. Si Rara memilih tidur di dalam mobil menunggu kami mendarat di lereng tertinggi yang bisa dilalui mobil di Gunung Merapi itu.

Karena sudah lama sekali, si papa lupa  jalan yang harus kami  lewati. Hingga kami tibalah di Jorong Labuang. Kalau kami masih melanjutkan jalan lurus ke depan, entah akan sampai dimana. Maka si abang bertanya pada penduduk setempat.

Lelaki tua yang ramah, menjelaskan kepada kami, bahwa jalan itu buntu di ujung sana. Kalau kami mau ke lereng yang kami maksud, kami harus balik  lagi, nanti di Jorong Bingkudu, belok ke kanan. Kami mengucapkan terima kasih dan si bapak dengan ramah menawarkan  mampi r ke rumahnya. Oh, so touching... 

Kalau perjalanan di lereng-lereng gunung seperti ini, dengan rumah-rumah sederhana dan tua, dengan  halaman yang penuh tanaman, dengan air di parit yang  mengalir deras dan padi yang  menguning, hewan-hewan peliharaan dan penduduk yang bersahaja,  maka akulah yang paling bahagia.


Rumah tua di pedesaan yang bersahaja, dengan pekarangan, kebun bunga dan sayur. teras dengan dua kursi dan secangkir kopi susu...



Cita-cita masa tuaku adalah tinggal di daerah sejuk seperti ini. Hidup sederhana, bercocok tanam, menikmati hidup dengan bahagia. Tidak perlu televisi dengan hingar bingarnya. Tidak perlu ke mal setiap minggu untuk refreshing. Cukup duduk di teras rumah menikmati angin semilir dari pegunungan, bau tanah dan bunga-bunga. Ditemani secangkir kopi susu panas yang sebentar saja sudah dingin. Itu gambaran ideal masa tuaku sampai hari ini.

Kami akhirnya menemukan jalan yang benar. Jalan itu mendaki di lereng-lereng gunung Merapi. Si abang berkata, kalau melihat ke dalamnya jurang di pinggir jalan, ia merasa lututnya jadi kosong. Gamang tingkat dewa.

Di sepanjang lereng ini, penduduk hidup dari bercocok tanam. Kami melihat ada banyak kulit  manis yang dijemur di pinggir jalan. Di kebun-kebun, ada cengkeh dan tanaman palawija. Bawang, ubi, talas, labu siam atau orang Minang menyebutnya  japan,  tumbuh subur.


Pemandangan Kota Bukittinggi dan sekitarnya, dilihat dari lereng Merapi.



Makin ke atas, makin buruk kondisi aspal jalan. Kami hampir tak pernah berpapasan dengan kendaraan lain. Jalanan yang melingkari pinggang Merapi itu, hanya cukup untuk satu mobil.
Angin tidak lagi semilir. 

Akhirnya kami tiba di titik perhentian terakhir. Ada dua orang pria sedang menyortir tomat. Sepertinya akan ‘diekspor’ ke Riau tuh. Ada pondok di pinggir jalan, dekat petani-petani itu. Dari arah pondok itu terdengar bunyi rengekan yang semula aku kira suara anak kecil. Gak taunya... suaro kambiang! Pantesan bau pesingnya kuat banget.

Juga musik gamat terdengar cukup keras  lewat loud speker.  Kami yang tua tua serasa balik zaman masih kecik-kecik dulu... 








Ternyata tower itu milik Telkom...


Kami foto-foto lagi di sana. Angin bertiup lebih  kencang.  Dari atas itu,  kami bisa melihat kota Bukittinggi hingga jauh. Di ujung sana, ada deretan Bukit Barisan, sambung menyambung. Di bawah kami, ada jalan menuju Batusangkar. Hanya perlu satu jam perjalanan mobil dari Baso menuju Batusangkar. Kami akan pergi ke sana, beberapa hari lagi...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar