Jumat, 24 Desember 2010

Tak Ada yang tak Mungkin bagi Allah


Saat ujian mid semester lalu, Rara jatuh sakit. Sehari setelah ujian, ia merasa pusing dan suhu tubuhnya meninggi. Hari Selasa, ia tidak masuk sekolah. Ia tetap berada di ranjang dengan suhu tubuh di atas normal. Hari Rabu, setelah minum obat penurun panas, plus ditempeli daun jarak (ini pengobatan tradisional yang terbukti ampuh menarik panas dari tubuh seseorang), suhu tubuhnya turun sebentar, lalu naik lagi. Hingga akhirnya musim ujian berakhir, ia masih terbaring di tempat tidur.
Ujian susulan kemudian terpaksa ia jalani. Dan kami semua dapat memaklumi nilai-nilainya terjun bebas di bawah standar. Ada 4, 5, 6 dalam buku rapornya. "Jangan marah ya Ma," katanya.
Aku saat itu sedang membuka komputer, surfing. Kukatakan, ia dapat mengubah nilainya menjadi jauh lebih baik, asalkan ia rajin belajar dan tidak lupa berdoa pada Allah. Kukatakan padanya, ia terlahir bukan sebagai anak idiot. Ia cerdas dan hanya perlu banyak latihan. Bahkan orang-orang yang semasa kecilnya pernah dicap bodoh pun, berkat ketekunannya, bisa mengubah dunia.
"Einstein itu dulu pernah diusir dari kelas oleh gurunya karena dianggap terlalu lambat menangkap pelajaran. Tapi berkat didikan ibunya, ia berhasil meraih hadiah Nobel. Dan itu bukan sembarang hadiah," kataku.
Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Berdoalah pada Tuhan. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah. Allah bisa membuat apa saja. Lebih lebih dari tukang sulap manapun. Lihat tsunami, ia membuat orang kaya jatuh miskin dalam hitungan detik. Kalau Allah bisa membuat kita miskin dalam hitungan detik, Ia pun dapat membuat kita jadi kaya dalam hitungan detik. Demikian juga dengan pintar. Allah pasti bisa membuat kita jadi pintar, asalkan kita selalu berusaha dan berdoa padanya. Allah sudah berjanji, 'mintalah padaKu, PASTI Aku akan memberikannya'. Itu janji Allah dan itu PASTI dapat dipercaya. Masa minta aja gak mau?"
Diam-diam, akupun memanjatkan doa demi kesuksesannya. Selama ini doanya umum dan standar saja, sekarang lebih spesifik. Sejak pembicaraan kami itu, aku melihat ada perubahan Rara. Ia tak perlu dipaksa lagi untuk belajar. Ia mulai tertib belajar pada malam hari sesuai jadwal yang aku berikan. Ia juga mulai rajin bertanya padaku bila ada hal-hal yang tidak diketahuinya. Bila kami sama-sama tidak mengetahui jawabannya, dengan senang hati kami mencarinya di Google. Dari dia aku mengetahui ada pola hubungan antar hewan selain simbiosis mutualisme, yaitu simbiosis komensalisme (satu untung satu tak rugi) dan simbiosis parasitisme (satu untung satu rugi).
Aku mulai mengulang kembali pelajaran Arab Melayu dan berpacu dengannya membaca tulisan tanpa baris (apa ini yang disebut Arab gundul?). Ia mengajarkan padaku metode membagi bilangan prima yang rasanya tak pernah kupelajari dulu. Ia mengingatkan kembali skala di peta, letak Tenggara, Barat Daya, Barat Laut dan Timur Laut, sungai terpanjang di Indonesia, kota penghasil minyak bumi, kabupaten tempat Candi Muara Takus, dan sebagainya.
Beberapa pekan menjelang ujiang semester, ia bertanya, bolehkah ia memiliki handphone Nexian seharga Rp300 ribu sebagai hadiah nilai di rapornya? Aku tanya, rangking berapa targetnya? Berapa kira-kira ia sanggup? Dia memutar-mutar bola matanya. "Hm...enam," jawabnya kemudian.
"Oke, Mama akan membelikan Nexian bila kamu bisa dapat rangking 6."
"Kalau enam setengah?"
Apa benar ada rangking enam setengah?
"Tak ada cerita!"
Ia mengkerut, lalu pergi. Musim ujianpun tiba. Ia mulai sibuk belajar. Kami pelajari
kembali bab per bab. Kami memperhatikan dengan lebih serius bagian yang tak dimengertinya. Mengerjakan semua latihan, memperkirakan soal-soal yang akan muncul, dan lain sebagainya. Sering saat aku pulang dari kantor sekira pukul setengah sebelas malam, kulihat ia tertidur dengan buku pelajaran terbuka di sampingnya. Aku juga selalu mengingatkan ia untuk tidak meninggalkan shalat dan berdoa secara khusus. Bahkan ia minta dibangunkan untuk Shalat Tahajud dan bila sempat sebelum pergi ke sekolah, mengerjakan 6 rakaat Shalat Dhuha. Sehabis Shalat Maghrib berjamaah, ia membaca Ar Rasyid 100 kali.
Ketika tiba hari penerimaan rapor, aku dan dia sama berdebarnya. "Jantung Rara
serasa mau copot," katanya. Aku mengerjakan Shalat Dhuha 6 rakaat dulu sebelum berangkat dan Rara memasang nazar, shalat sunat dua rakaat bila berhasil mencapai rangking 6.
Kami pergi dengan motorku ke sekolahnya. Si Tata ikut pula. Sepanjang jalan aku berdoa, semoga harapannya tercapai. Ia telah melakukan segala syarat untuk mencapainya. Dan sebenarnya aku juga berdoa, semoga darahku tidak langsung naik bila melihat hasil usahanya tidak sesuai target.
Kami masuk ke kelasnya. Ia mencarikan aku duduk di depan sementara ia sendiri duduk di belakangku. Wali kelasnya sedang melayani seorang bapak. Si anak, teman sekelas Rara, tampak cemberut. Bapak itu tampak geleng-geleng kepala. Lalu Rara dipanggil. Aku ikut maju. Buku rapor dibentangkan di atas meja dan guru itu menerangkan isinya. Ia mengatakan semua pelajaran tuntas dan nilai-nilai Rara di atas target. Selain itu, ia mengatakan, Rara sering sakit kepala di kelas, lalu tertidur. Aku katakan, mungkin ia kelelahan, karena paginya harus sekolah di madrasah diniyah awaliyah (MDA).
Bahkan MDA itu lebih duluan menggelar ujian semester ketimbang sekolah negeri. Kami melihat rangkingnya. Tertulis di situ VI (enam). Aku dan Rara saling berpandangan dengan mata terbelalak dan senyum lebar.
Alhamdulillah!
Namun bukan itu yang membuatku haru. Saat kami pergi ke parkiran, kata-kata pertama yang terlontar dari mulutnya terkait rangking itu adalah, "Ternyata tak ada yang tak mungkin bagi Allah." Kata-kata yang dulu pernah aku ucapkan, yang saat ini tak teringat lagi, namun masih terang benderang dalam ingatannya. Ia tak menepuk dada, itu semua berkat kerja kerasnya, tapi Allah, hanya Allah yang dipujinya....I am proud of you Sweety, always....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar