Sabtu, 04 Desember 2010

Kisah Mata-mata Ganda Perang Dunia I Berdarah Indonesia


judul : Namaku Mata Hari
penulis : Remy Sylado
penerbit : Gramedia Pustaka Utama
tahun terbit : Oktober 2010
jumlah halaman : 559

'Aku tidak boleh menyangkal pada suara hatiku, bahwa alasan yang mendorong kemauanku untuk menjadi pelacur adalah bakat.
Jangan kaget. Memang aku berpendapat begitu. Bahwa menurut pandanganku, bakat jalang-sundal-lacur adalah, percayalah, urusan Tuhan juga, bukan hanya iblis. Sulit memisahkan wilayah Tuhan dan wilayah iblis di dalam diri manusia, kalau yang dijadikan tempat persinggahan fitrah kebajikan dan fiil kejahatan, adalah hati manusia, dan hati manusia selamanya tidak swatantra.'
Itulah penggalan novel ini di halaman 9-10. Mungkin bagi sebagian kita, sulit menerima pengakuan yang sedemikian terus-terang, apalagi bila mengingat bahwa saat itu, sang tokoh tengah menunggu masa-masa pelaksanaan hukuman mati atas dirinya, dengan tuduhan menjadi mata-mata ganda.
Ini memang kisah tentang seorang penari eksotis (demikian sebuah literatur menyebutnya) -jadi bukan erotis- bernama Mata Hari. Perempuan peranakan Belanda-Indonesia ini, sembari menari berkeliling Eropa, juga menjalankan misi mata-mata ganda, Prancis dan Jerman, pada masa Perang Dunia I. 'Bonus' yang nyaris selalu ia nikmati dari traveling seni ini adalah perselingkuhan dengan berupa-rupa lelaki kelas atas, mulai dari petinggi militer hingga pejabat pemerintahan. Walaupun akhirnya ia 'dijebak' sehingga harus menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak, namun Mata Hari tetap dengan keyakinannya, bahwa bakat jalang-sundal-lacurnya adalah urusan Tuhan juga.
Mata Hari menjadi menarik dibaca karena penulisnya seolah menyelami jiwa kewanitaan tokoh utamanya. Tidak hanya itu, berbeda dengan novel sebelumnya tentang Mata Hari, novel ini juga mengisahkan tentang penggalan hidupnya yang jarang terekspos, yaitu ketika ia beberapa tahun menetap di Ambarawa dan Batavia, sebagai istri seorang opsir Belanda Rudolp McLeod.
Di Indonesia ia mendapatkan nama Mata Hari, khususnya dari babunya Nyai Kidhal, yang kelak diselingkuhi sang suami hingga hamil. Nama itulah yang terus dibawanya hingga mati sehingga sebagian orang melupakan nama aslinya. Di Indonesia pula, tepatnya di Candi Borobudur melalui relief-relief di dindingnya, ia mempelajari tarian-tarian yang kelak dibawakannya di benua Eropa.
Mata Hari terlahir dengan nama Margaretha Geertruida Zelle pada 1876. Di usia 14 tahun, saat pertama kali mendapatkan haid, ia telah 'mengeksplorasi' tubuhnya sedemikian dan mendapatkan kesenangan dan gagal mempertahankan keperawanan pada usia 16 tahun. Margaretha menikahi lelaki yang jauh lebih tua darinya bernama John Rudolp McLeod pada 1895. Namun setelah mendapatkan dua orang anak, Margaretha kembali ke Belanda untuk mengurus perceraiannya dengan sang suami dan mengembangkan karir sebagai penari eksotis profesional.
Pergaulannya dengan pria-pria berpengaruh, ternyata telah mendorongnya untuk terlibat dengan dunia politik dan perang. Berbagai informasi dari 'dialog bantal', demikian ia menyebut perselingkuhan itu, ternyata dapat berubah menjadi uang yang cukup menggiurkan baginya. Ya, Mata Hari menjual semua informasi yang didapatnya dari pihak Perancis ke pihak Jerman dan sebaliknya. Namun toh akhirnya ia terjebak dan harus menjalani hukuman mati di depan regu tembak.
Kisah hidup Mata Hari sendiri cukup dramatis, demikian pula kisah petualangannya di masa Perang Dunia I. Tidak heran, artis kenamaan Greta Garbo pun pernah berperan sebagai Mata Hari dalam film yang berkisah tentang tokoh mata-mata cantik ini. Bagi pembaca yang penasaran, foto-foto Mata Hari dapat dicari di mesin pencari di internet. Demikian pula dengan foto-foto Greta Garbo saat berperan sebagai Mata Hari dalam film yang diproduksi sekitar tahun 1939 lalu.
Sebagai penulis dan jelas-jelas menceritakan kisah hidup seorang pelacur, syukurnya Remy Sylado tidak terjebak untuk menulis novel ini menjadi 'kacangan' dan vulgar. Bagi saya pribadi, tak ada yang terlalu vulgar dikisahkan Remy dalam buku ini perihal 'dialog bantal' Mata Hari dengan para lelakinya.
Satu lagi yang menarik, Remy hampir selalu menyisipkan penggalan puisi di akhir setiap bab. Tak ketinggalan, buku ini juga dilengkapi foto-foto Mata Hari dalam berbagai pose. Selain itu, Remy memberikan catatan kaki tentang beberapa lokasi cerita yang bersetting awal abad ke-20, sehingga pembaca dapat memperkirakan, dimana tepatnya lokasi-lokasi yang pernah didatangi Mata Hari. Dan sebagai seorang sastrawan, Remy juga memasukkan ke dalam novel itu aneka kata-kata yang kurang lazim kita dengar sekarang ini. Mungkin ada baiknya pembaca melengkapi diri dengan Kamus Bahasa Indonesia, untuk mencari arti beberapa kata dalam novel ini. Selamat membaca.

peresensi Fitri Mayani, seorang jurnalis dan penikmat novel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar