Rabu, 30 Mei 2012

(edisi revisi) Antara Lady Gaga, Lycra dan Tasya



Pada Kamis (17/5/12) lalu, aku dan anak-anak patungan membeli tiga ekor  anak kelinci yang lucu-lucu. Hampir setahun berkantor di Jalan Durian, baru beberapa hari yang lalu aku tahu bahwa di seberang kantor itu ada pasar hewan peliharaan yang lumayan lengkap. Sehari sebelum pergi membeli kelinci, aku dan Tata telah survey lokasi dan melihat aneka binatang dijual di situ. Kucing angora, kalong, kelinci, monyet, aneka burung, ayam, dan lainnya.

Hari  itu, setelah semua pekerjaan beres (dibantu dengan semangat 45 oleh Tata dan Rara), bertiga kami pergi ke Pasar Palapa. Kata Rara, seorang temannya sekelasnya sekarang punya peliharaan kelinci angora dan Rara juga ingin  memilikinya.

 Aku tak keberatan, melihat bagaimana mereka sebelum ini cukup telaten mengurus enam ekor anak ayam warna-warni yang kami beli di Pasar Cik Puan, sehari sebelum Lebaran Idul Adha 2011 lalu. Walaupun pada akhirnya hanya dua ekor yang bertahan hidup hingga dewasa,  namun kepedulian mereka pada hewan-hewan itu sudah teruji.
               
Kedua ayam itu berakhir di penggorengan….
               
Maka sebelum kami membeli kelinci, Tata mengeluarkan ultimatum, “Kelinci Tata kalau sudah besar tidak boleh dimakan. Kalau mati kuburkan aja!”
               
“Kok gitu Ta? Mama mau makan sate kelinci. Kata orang enak. Kelinci halal lo.”
               
“Pokoknya nggak boleh!”
               
“Iya kenapa?”
               
“Tata kasiaaaaan….” Wajahnya sendu. Padahal itu kelinci belum lagi kami beli. Halah!
               
Siang itu, kami memilih tiga ekor anak kelinci yang kata si penjual berumur sekitar tiga bulan. Bulunya yang lebat dan lembut sungguh menggemaskan. Tiga ekor kelinci itu harganya Rp100 ribu. Dan karena tidak punya kandang, kami beli juga kandangnya seperti kerangkeng dari kawat.  Harganya Rp150 ribu. Jadi total Rp250 ribu.
               
Sampai di rumah, anak-anak sungguh girang. Masing-masing memberi nama kelinci peliharaannya. Tata memilih nama Tasya. Entah dari mana dia dapat ide. Sedang Rara memilih nama Lycra.
               
“Mereka kolor gue,” celetukku usil.
               
“Bukaan! Merek kaos kaki Rara,” serunya. Aku tertawa.
               
Sedangkan kelinciku yang berwarna coklat mulus, kuberi nama Lady Gaga. Secara sedang heboh kali berita Lady Gaga yang terancam gagal menggelar konser di Jakarta.
               
Dan dimulailah petualangan kami memelihara tiga ekor anak kelinci yang lucu-lucu. Si Tata menggendongnya ke sana kemari, bahkan mengambil jilbab usangku untuk dijadikan ayunan si Tasya.  Teman-teman sekompleks pun dengan cepat menyukai ketiga kelinci itu. Mereka tak henti mengejar, mengajaknya bermain dan memberi makan.
               
Sore hari, saat aku pergi bekerja, biasanya Rara memasukkan kandang kelinci itu ke dalam rumah.  Pulang dari kantor, pukul berapa pun, pasti aku sempatkan untuk menengok mereka sejenak. Laporan... Dan belakangan ternyata semua anggota keluarga melakukan hal yang sama. Siapa saja yang baru datang, akan menengok dulu kelinci-kelinci itu.
               
Saat si Papa pulang dari Bagansiapiapi, Jumat (18/5/12) dia  kaget sudah ada anggota keluarga baru.  Anak-anak ribut menceritakan tentang kelinci-kelinci itu.
               
Lalu aku diinterogasi. Kok teringat membeli kelinci?
               
“Aku sudah kena pukau sama anak-anak tu. Sebenarnya kami akan membelinya Hari Sabtu besok, saat aku libur. Tapi karena Hari Kamis libur juga, mereka membujuk agar dibelikan hari itu juga. Aku tak bisa mengelak, karena semua syarat mereka penuhi. Tata jadi penurut sekali pada semua perintahku,”
               
Si Papa tertawa. Ia sangat mengenal anaknya.
                T
Tapi seperti biasa, si Papa selalu punya sesuatu untuk membuat kami jadi bad mood. Katanya, mengapa harus diberi nama Lady Gaga yang kebarat-baratan?
               
“Lycra itu merek kolor,” kataku.
               
“Merek kaos kaki Rara!” protes Rara keki.
               
“Berilah kelinci itu nama-nama yang Islami.”

 Apa? Aku dan anak-anak mengerutkan alis. Ada-ada saja.

“Abdul?” kataku sambil menahan tawa. Tapi anak-anak tertawa saja. Si Papa pura-pura tak mendengar.

“Misalnya asmaul husna,” katanya asal ngomong.

“Minta disambar petir ya?!”

Anak-anak dan aku bertahan dengan nama yang sudah kami pilih. Dan si Papa sesuka hatinya memanggil kelinci itu si Mukminin.

“Mukminiiin! Sini!”
               
“Tunggu sampai kelompok garis keras mendengarnya, siap-siap rumah kita dilempari bom molotov! Itu bisa dianggap pelecehan agama,” kataku lagi.

21 Mei siang, tak ada yang aneh dengan ketiga kelinci itu. Semua makan dengan lahap selada yang kami beri. Demikian pula dengan wortel dan daun-daun lainnya. Tapi keesokan harinya, Tasya sudah tak bernyawa. Subuh-subuh saat aku bangun, biasanya yang pertama kulakukan adalah memindahkan kandang itu ke luar rumah. Saat itulah kulihat si Tasya sudah tegang. Lycra terlihat menciuminya. Sedang Lady Gaga cuek saja dan terus memamah biak. Di lantai, terlihat ada kotoran berwarna cokla pucat dan encer. Mungkin Tasya salah makan atau apa.
               
Aku membangunkan Tata dan mengabarkan berita buruk itu. Seketika ia bangkit dari tempat tidurnya dengan wajah sedih. Bergegas pergi untuk melihat Tasya yang sudah kaku. Lama dia terdiam. “Mama harus ganti!” katanya menjatuhkan ‘hukuman’. Kok gue???
               
“Mulai saat ini, setiap tanggal 22 Mei, Rara akan ziarah ke kuburan Tasya. Kuburkan dia di bawah pohon mangga itu ya Ma,” kata Rara.
               
Aku setuju. Maka pagi itu, setelah anak-anak pergi sekolah, mulailah aku menggali lubang kecil di bawah pohon mangga lalu menguburkan Tasya di sana. Tinggal Lycra dan Lady Gaga yang bermain-main di bawah rimbunnya bunga-bungaku. Kelinci ternyata suka makan pucuk-pucuk daun yang masih muda dan lebih lunak. Sesekali aku lihat Lycra mengangkat kedua kaki depannya untuk menjangkau tunas bayam yang cukup tinggi untuk dirinya.

Kadang-kadang, aku bawa keduanya ke luar halaman untuk mencari rumput segar. Mereka sepertinya senang. tapi jelas keduanya berbeda. Lycra tak mau jauh-jauh dari kakiku dan menerima semua yang aku sodorkan ke depan hidungnya yang terus mengendus-endus.  Apalagi di depan rumah kami ada anjing galak yang salakan cukup membuat nyali ciut. Termasuk nyali si Lycra. Maka saat dilihatnya anjing itu mendekat, secepat kilat ia berlari menyeberang jalan dan masuk ke pekarangan rumah. Ia lalu bersantai di bawah motorku, terkantuk-kantuk.

Hari itu juga, aku melihat bagaimana kelinci berusaha melindungi diri dari musuhnya. Lady Gaga merapatkan tubuhnya ke tanah saat anjing tetangga menyalak keras ke arahnya. Jarak mereka hanya sekitar dua meter. Lady Gaga juga menurunkan telinganya hingga merapat ke badannya dan matanya waspada.  Ia membatu di tanah.
               
Sebelum anjing tetanggaku jadi kalap, cepat aku angkat Lady Gaga dan kubawa pulang. Cukup wisatanya pagi ini ya!

Hari itu, aku kehilangan Lycra. Biasanya dia bersantai di bawah pagar dekat jendela kamar Rara. Di sana ia rebahan sambil menikmati angin. Tapi hari itu, dia tak ada di sana. Aku mencari ke segala sudut, termasuk ke luar halaman, tidak ketemu. Di balik pot-pot bunga juga tak ada.
               
“Lady, mana Lycra?” tanyaku. Lady Gaga pura-pura gak dengar, terus saja mengendus-endus aku.
               
“Jangan meledek ya! Memang aku belum mandi kok!”
               
Pikiran buruk mulai muncul. Mungkin dicuri orang? Dulu kami juga kehilangan dua ekor anak ayam warna-warni itu. Suatu sore, mereka yang biasanya pergi main berombongan, pulang-pulang tinggal dua ekor.
               
Setelah mencari kemana-mana tak juga ketemu, akhirnya secara tak sengaja kulihat si Lycra sedang duduk di balik pintu ruang tamu. Aku tertawa lega. Hari itu, Lycra memakan satu tangkai daun selada yang aku berikan. Lady Gaga tak kebagian.

Tapi keesokan harinya, Lycra terlihat mulai sakit. Ia terbaring dengan keempat kakinya terjulur. Aku pegang tubuhnya, masih hangat. Aku kasihan dan ingin memberi obat, tapi tak tahu apa.
               
Rara sedih sekali. “Kita bawa ke dokter hewan aja Ma,” katanya.             
               
“Mama gak tau dimana ada dokter hewan. Lagi pula ini masih pagi sekali, belum ada yang buka.”
               
Aku berusaha menyuapkan sedikit selada, tapi ia diam saja. Aku dekatkan moncongnya ke air, ia menggelinjang sebentar. Tapi kemudian terkapar lagi. Hari itu, untuk pertama dan terakhir kalinya, aku mendengar Lycra mengeluarkan jeritan lirih.

Akhirnya, beberapa jam kemudian, Lycra meninggal. Rara sedang di sekolahnya. Sekali lagi aku menggali lubang di bawah pohon mangga dan menguburkan Lycra di sana.

Pulang sekolah, Tata membuatkan batu nisan untuk Lycra, terbuat dari batu bata yang dibungkus dengan kertas bukunya lalu dibalut dengan selotip. Ia menulis nama Lycra di batu nisan itu dan minta izin mencabut setangkai mawarku yang cantik untuk ditaburkan di atas kuburan itu. Kuburan Tasya juga ditaburi bunga mawar oleh Tata.

Tinggal Lady Gaga sendiri.

“Harusnya kita cari informasi tentang beternak kelinci di internet,” kata si Papa.

Ia sedang di depan komputernya. Untung dengan cepat Google menampilkan berbagai info. Aku sedang di dapur, sementara si Papa mencari informasi.

“Tips memelihara kelinci. Satu: Jangan diberi nama…”

“Aah! Bohong nih!” aku jadi gemas.

“Panggil saja :BINATANG!”

“Lalu siapa yang menyuruh memanggilnya Mukminin?”

Kami tertawa.

Ternyata, kelinci terus memamah biak di malam hari. Jadi stok makanannya harus dipastikan cukup sepanjang malam. Kelinci tidak membutuhkan banyak air. Ia suka berbagai jenis rumput. Bagi pemula seperti kami, sebaiknya membeli anak kelinci yang telah berusia di atas tiga bulan. Di bawah usia itu, anak kelinci rawan hama dan penyakit.

Mungkin Tasya dan Lycra belum genap tiga bulan… entahlah.

Setelah tahu informasi itu, maka kami selalu memastikan bahwa Lady Gaga pergi tidur dengan selada, wortel dan  ubi jalar. Kalau tengah malam dia lapar, tinggal menggigiti semua yang ada di depannya.

Setiap pagi aku cemas membuka kandangnya, takut nanti menemukan kelinciku mati juga. Tapi untunglah hingga saat ini dia baik-baik saja.

Siang hari,  pintu kandangnya  sengaja kubuka dan membiarkan dia berkeliaran di halaman.  Kini dia punya tempat berleha-leha yang nyaman, yaitu di balik pot bunga kuping gajahku.  Di sana ia terkantuk-kantuk, menikmati angin yang bertiup. Kalau aku datang, cepat dia bangun dan mendekatiku.

Segala macam daun yang bisa dimakannya, pasti diembat. Dan dia juga mulai mengenaliku. Kalau aku datang dan memanggilnya sambil memperlihatkan sesuatu di tanganku, cepat di datang.  Dia juga mau menerima makanan dari tanganku. Duuh, senangnya.

Hari Sabtu (26/5/12), Lady Gaga pergi sendiri ke luar halaman. Dia mencari rumput di bawah mobil  kami yang parkir di sana. Aku khawatir saja nanti dia lari kemana-mana. Aku juga khawatir anjing tetangga akan memburunya.

Aku panggil-panggil, dia tak mau keluar. Kupikir, biar ajalah main di situ sebentar, nanti akan kujemput. Tapi ternyata saat aku datang lagi, dia sudah tak ada! Rara dan Tata ikut sibuk mencari sebelum berangkat ke sekolah. Aku sampai membungkuk serendah-rendahnya untuk melongok ke bawah mobil itu, kalau-kalau dia ada di sana. Aku juga pergi ke rumah tetangga, siapa tahu dia pergi ke sana. Tapi tetap tak ada.

Aku sudah pasrah. Ya sudahlah, pikirku. Apa boleh buat.

Tapi ternyata, ia muncul lagi di bawah mobil itu. Dari jauh, terlihat dia tenang-tenang saja menikmati pucuk-pucuk rumput liar di sana. Saat aku perhatikan, ternyata selama ini dia bersembunyi di antara mesin mobil itu. Rupanya, saat merasa terancam, dia dengan cepat memanjat melalui roda belakang mobil, lalu terus ke mesin dan duduk menunggu di sana hingga suasana kondusif. Begitu bahaya menjauh, dia keluar lagi.

Lega si Lady Gaga aman-aman saja, aku berkata, “Unyu-unyu, nanti cepat pulang ya!”

Dan memang, dia pulang sendiri. Pergi ke tempat favoritnya di balik pot bunga, bersantai di sana dan terkantuk-kantuk. Hingga saat ini, kalau dia pergi ke bawah mobil itu, aku tak khawatir lagi.

Sekarang aku panggil dia si Unyu-unyu. Walaupun tidak Islami, paling tidak itu tidak kebarat-baratan dan lebih Indonesia. Dia sepertinya tak keberatan dengan pergantian nama itu. Yah, hitung-hitung buang sial, supaya jauh dari penyakit, siapa tahu membawa hoki dan membuatnya berumur panjang.

Si Unyu-unyu tak mungkin kami biarkan membujang seumur hidupnya. Kasian dia kalau makan, makan sendiri…, tidur,  tidur sendiri… (seperti lagu dangdut). Tunggulah aku gajian ya Unyu-unyu, aku akan mencarikan jodoh untukmu…

Kini, piala sebagai orang terbulek padek sedunia versi si Tata yang berada di tanganku selama tiga tahun berturut-turut, kayaknya akan direbut si Unyu-unyu ini.

Sambungan (30/5/12)
Kemarin malam,di kantor aku dapat telpon dari si papa yang mengabarkan bahwa Si Unyu-unyu hilang. Aku pikir bercanda, tapi saat aku telepon balik ke Rara di rumah, ia menjawab dengan lemas bahwa memang Lady Gaga sudah tidak ada.

Ia menceritakan kronologi kejadiannya, “Tadi sore Rara main bulutangkis dan Lady Gaga main-main ke jalan. Ia sampai masuk ke halaman rumah Om Arip (baca: Arif). Sudah Rara ambil dan bawa pulang. Terus Rara masukkan ke kandangnya, tapi pintunya memang gak Rara kunci. Waktu Rara selesai main, dia sudah tidak ada. Rara sudah cari kemana-mana...”

“Ya sudahlah. Biarkan saja. Nanti kita beli lagi. Tapi mudah-mudahan dia kembali, seperti kemarin saat pagi-pagi main ke bawah kolong mobil, bisa pulang sendiri. Bukakan saja pintu kandangnya, taruh banyak makanan di sana. Mudah-mudahan nanti dia pulang ya,” kataku.

Saat menjelang pulang malam itu, datang lagi telepon dari si Papa, mengabarkan bahwa si Unyu-unyu sudah kembali dari pelariannya. Terdengar suaranya girang. Si Unyu-unyu ini memang sudah menjadi idola kami semua. Si Papa kalau pulang mengantarkan Rara dan Tata ke sekolah, selalu membawakan daun-daun untuk makanan Unyu-unyu.

Dan kulihat, dia juga mulai mengenali kami. Bahkan tidak takut naik ke pangkuan Tata sambil terus mengendus-endus. Tata tertawa-tawa senang dan geli.

Tadi siang (30/5/12), terjadi peristiwa cukup traumatic bagi si Unyu-unyu. Seekor kucing preman datang dan mengejarnya. Si Unyu-unyu lari tunggang-langgang dari balik satu pot ke pot lainnya. Bunyinya gaduh sekali. Melihat gelagat buruk ini, aku cepat datang dan memarahi kucing itu. Tapi memang preman, si kucing balas menatapku dengan berani. Aku lalu mengusir kucing itu yang pergi dengan tenang.

Lady Gaga masih sangat ketakutan, bahkan padaku! Ia lari bersembunyi ke balik pot lainnya yang selama ini tak pernah menjadi tempat favoritnya. Lama ia di sana.

Ia baru terlihat rileks kembali saat Tata pulang sekolah dan mulai main masak-masakkan sendiri di halaman. Masih dengan seragam, jilbab, sepatu dan tas sekolah yang tergolek di teras. Itu anak mengambil aneka daun dan menguleknya di atas sepetak paving block. Ia asyik dengan permainan itu dan mengabaikan perintahku untuk mengganti baju dulu.

Si Unyu-unyu datang sambil mengendus-endus hampir seluruh tubuh Tata yang bisa dijangkaunya. Bahkan tanpa malu-malu ia naik ke pangkuan Tata dan menciumi seragamnya. Tata tertawa geli dan senang.

“Mungkin dia suka bau ketek Tata,” kataku sambil tertawa. ****




               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar