Jumat, 23 Desember 2011

Mendadak Pulang Kampung

Mendapat kabar bahwa kakekku sakit parah, rencana pergi ke Padang mengantarkan ibu dan bapakku, Senin (19/12/11) lalu dimajukan sehari. Untungnya aku sudah siap-siap sejak Sabtu, belanja lebih banyak dari biasa ditemani ibuku. Berdua kami berburu ikan sungai segar di Pasar Cik Puan (Pasar Loket) dan beberapa bahan dapur lainnya. Rencananya, Minggu itu kami akan memasak makanan untuk dibawa ke Padang keesokan harinya. Tapi apa hendak dikata, kabar datang Sabtu siang, bahwa kakekku yang telah berusia sekitar 80 tahun sakit parah di kampungku Muara Labuh.

Sebelum berangkat, malam itu masih sempat aku pergi dengan Rara(naik motor berdua) melihat Pasar Cik Puan yang terbakar hebat. Meski hujan turun sejak sore, namun kebakaran tetap terjadi dan asapnya yang tebal terlihat hingga ke rumahku.

Setelah mendapat izin dari kantor, berangkatlah kami Minggu pagi. Sepanjang perjalanan, si Tata muntah terus.

Perjalanan Pekanbaru-Bukittinggi-Padangpanjang-Solok- Muara Labuh ditempuh selama 13 jam. Baru sekali itu aku menempuh perjalanan selama itu. Sepanjang jalan bisa dikatakan hujan turun tiada henti.

Aku jadi berpikir ulang pergi ke Jakarta via darat, seperti pernah diwacanakan bersama si Abang.

Kami tiba di rumah nenekku pukul setengah delapan malam. Ayahku yang sudah diberitahu, namun dengan cepat melupakannya, syukur alhamdulillah tidak apa-apa selama perjalanan. Sebenarnya Beliaulah yang paling aku khawatirkan dalam perjalanan ini. Makanya kami mencegah Beliau pulang dengan mobil travel dan memilih mengantarkan langsung.

Alhamdulillah juga, kakekku mendadak membaik, setelah seluruh anak cucu dari perantauan pada berhamburan pulang begitu mendengar kabar itu. Setelah selama hampir sepekan terbaring saja di tempat tidur bahkan telah dipasangi popok, malam itu saat kami tiba, Beliau sudah bisa duduk di kursi makan. Namun getaran tangannya sungguh luar biasa kuat.

Kakekku penderita parkinson yang parah. Tangan dan kepalanya tak dapat berhenti bergerak. Hingga saat ini aku masih ingat adegan saat ia mencoba memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya dengan tangan dan kepala yang tidak henti bergoyang. Saat sendok hampir masuk ke mulut, kepala itu bergoyang-goyang tak dapat dihentikan. Beberapa kali tangan yang juga tiada henti bergetar itu, menggeser ke kiri dan ke kanan, agar sendok dapat masuk ke dalam rongga mulut, namun gagal. Kakekku terus mencoba dan mencoba hingga akhirnya berhasil.

Perlahan dikunyahnya nasi soto itu. Sejumput soun terlihat menggantung panjang dari mulut hingga bawah dagu. Kakekku berusaha mengambilnya untuk dimasukkan ke mulut. Dan itu bukan usaha yang mudah. Beberapa kali tangannya gagal mendapatkan soun itu, karena tangan dan kepalanya tak henti bergetar. Oh, kakekku.... sekarang, aku menahan air mata menuliskan ini. Menyesal sekali, aku lupa mengambil gambar, hiks hiks...

Seingatku, goyangan itu semakin kencang dibanding bertahun-tahun yang lalu. Aku kasihan namun Beliau menolak saat aku tawarkan bantuan untuk menyuapi. Baru keesokan paginya, saat aku menawarkan seiris mangga yang sengaja dibawa dari rumahku, aku suapkan langsung ke mulut Beliau. Itu terjadi setelah ia tak kuasa mengambil irisan mangga yang aku sodorkan, akibat getaran tangannya yang tak terkendali.

Kami memang bukan keluarga yang romantis. Dan kakekku juga bukan orang terlalu membaur dengan kami. Jadi selama kepulangan itu, Beliau hanya menyaksikan keramaian itu dalam diam. Tidak terlibat dalam pembicaraan apapun. Selain karena suaranya yang nyaris hilang, juga karena sakitnya.

Rombongan dari rantau pulang ke rumah masing-masing keesokan paginya, Senin (19/12/11). Maklum, semua bekerja dan harus segera masuk kantor lain. Aku ke Padang dulu, mengantarkan orangtuaku, istirahat semalam, lalu Selasa kembali ke Pekanbaru. Selama di Padang, bersenang-senanglah si Tata bertemu sepupunya Tsaqif, Aland dan Dhea. Malam harinya, kami ditraktir makan nasi bungkus oleh adik bungsuku Yessi.


Tata dan Tsaqif makan berdua, sementara si Rara sejak awal sudah menyatakan tidak bisa berdua dengan siapapun dan dia sanggup menghabiskan satu bungkus itu.

Bapak dan ibuku juga makan sebungkus berdua. Semua makan dengan lahap. Kami orang-orang dewasa bahagia melihat Tata makan lahap dengan Tsaqif, sementara Aland yang lebih sulit makan, kecuali sama 'tilon' (baca telur), baru bergabung ketika semua sudah selesai makan.

Perjalanan kali ini sedikit mengecewakan, karena hampir semua waktu habis di jalan. Rara kecewa karena tidak bisa pergi ke Pantai Air Manis. Padahal dulu aku pernah merencanakan hiking dari Teluk Bayur ke pantai itu. Sudah terbayang asyiknya hiking di lereng-lereng bukit terjal, seperti saat aku SMP dulu. Perjalannya cukup jauh dan medan yang harus ditempuh tidaklah mudah. Tanjakannya ada yang terjal dan di beberapa bagian jalan yang telah disemen, patah. Itu sisa-sisa kenanganku akan jalur itu.

Rencana hiking ke Pantai Air Manis itu sudah kami bahas sejak setahun lalu. Namun hingga saat ini tak kunjung terlaksana. Dan si Rara kecewa. Saat beberapa bulan lalu kami ke Padang, rencana itu juga tak bisa kami laksanakan. Pasalnya, kami
berada di Padang pada hari kerja dan si Papa tidak ikut dengan kami karena harus mengurus pernikahan keponakannya di Bukittinggi.

Aku semula hampir nekat pergi bertiga melaksanakan niat itu, namun setelah dipikir-pikir, itu cukup beresiko. Kami tidak tahu kondisi terakhir jalur itu setelah gempa dahsyat dulu. Selain itu, tidak ada lelaki dewasa yang akan menemani kami. Kalau terjadi apa-apa, gaswat juga...

Begitulah, saat Maghrib hampir habis, Selasa itu, kami tiba lagi di Pekanbaru. Tata masih muntah-muntah. Namun langsung sehat sesampai di rumah dan begitu turun dari mobil, langsung menghambur mencari ayam-ayamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar