Rabu, 27 April 2011

Memburu 'Aset' Malinda di Siak

Bengkalis Journey Part 4


Saya senang sekali menulis bagian ke empat ini, karena sejak kemarin sudah tau judulnya. Simak ya!
Begitu sampai di Sungai Pakning, kota lama yang berpenduduk heterogen, Melayu, Batak, Minang dan Tionghoa itu, kami langsung tancap gas ke Pekanbaru.
Tak sempat mampir kemana-mana, semacam toko buah atau apa, buat mencari oleh-oleh. Tak ada yang berminat untuk menenteng sesuatu buat orang rumah kayaknya nih!
Kami mampir di salah satu masjid di dekat situ. Dan Bang Hasan terkurung di wc-nya. Konon kabarnya, Adit harus menggunakan jurus silatnya untuk membuka pintu wc demi Redpel kami itu. Kalau Beliau terkurung di sana, jauh juga kami para redaktur meng-ACC halaman, hahaha....
Sebenarnya jalur yang dilalui masih yang itu juga. Tapi karena tidak ada rambu-rambu, kami masih juga perlu nanya sana-sini. Sekali waktu di daerah Teluk Mesjid, mobil kami melaju kencang di jalan mulus, lalu belok kiri dengan yakin, yang ternyata menuju sebuah jembatan. Miriplah dengan jembatan Perawang. Tapi ternyata bukan. Itu jembatan Teluk masjid yang bahkan belum tersambung kedua sisinya.
Untung Bang Haspian bisa mengendalikan mobil sehingga kami tak 'mengejar' jembatan yang belum siap itu. Sempat kami PD abis meneruskan perjalanan melalui jembatan itu, alamat aku menulis catatan perjalanan ini dari alam barzah...
Kami bertanya lagi pada orang di pertigaan itu dan dibilang, terus saja, jangan belok. Di ujung jalan, ada lagi pertigaan dan kami kebingungan lagi. Tak ada rambu. Berbekal ingatan (untung tidak ada yang amnesia), kami mengambil jalur kanan dan alhamdulillah, tidak salah.
Sekitar pukul dua siang, kami sampai di Siak dan makan siang di rumah makan Tanjung Alam. Rumah makan itu sederhana dan murah. Makanannya enak sehingga banyak yang datang ke sana. Kami mengambil satu pondok di halaman rumah makan itu.
Nyaris terjadi pertumpahan darah antara Mas Eko dengan Bang Hasan yang berebut kepala ikan gabus. Mas Eko yang menang. Dan untuk mengobati 'hati yang luka', Bang Hasan berkali-kali mengatakan sebenarnya dia yang mau memakan kepala gabus itu.
Itu dia kepala gabus yang jadi rebutan dua lelaki


Menu spesial di rumah makan ini adalah siput gulai. Ada teorinya memakan siput ini. Sedot ujungnya, lalu pangkalnya. "Cobalah, bisa itu," kata Bang Hasan.

Lomba Ncut
Mas Eko menyebutnya 'ncut-ncut'. Pembicaraan berterusan tentang ncut-ncut ini. Sampai-sampai muncul ide brillian untuk menggelar 'Lomba Ncut'. Karena belum pernah ada yang mengadakan, khayalan jadi lebih jauh melambung, bisa didaftarkan ke buku rekor MURI! Bang Hasan langsung menyambar, "Aku yang menang pasti. Dari kecil ini aja makanan aku nih."
"O nggak, bisa. Mas Hasan jadi juri aja. Ini khusus buat anak-anak," Pak Gatot cepat menyadarkan sang Redpel dari mimpinya masuk MURI.
Aku sudah membayangkan ikut lomba ncut ini. Si Tata dan Rara nanti dibujuk aja agar mau aku wakilkan. Hadiah bolehlah dibagi tiga.
Melihat kami makan dengan lahap (la iyalah, secara ini sudah pukul dua siang), Pak Gatot mengingatkan, "Jangan banyak-banyak makannya, siapkan perut buat duren. Duren Siak ini terkenal enak dan tebal lo. Kita cari yang sebesar 'asetnya' Malinda Dee."
Wah, seru nih! Maka kamipun meneruskan perjalanan ke Pekanbaru sambil nengok kiri kanan dengan siaga, mencari-cari 'aset' itu. Sempat ketemu dua pedagang yang menggantungkan dagangannya di pinggir jalan. Ukuran lebih kurang sama dengan yang kita bayangkan bersama. Tapi harganya, buseeet, Rp60 ribu! Tak mau kurang satu senpun!
"Biasa itu, harga duren disesuaikan dengan APBD Siak," kata Bang Haspian di belakang kemudi. Oh, gitu rupanya. APBD Siak memang rruar biasa besarnya. Kabupaten ini punya perusahaan minyak, macam mana tak kaya? Kalau Bengkalis punya sumur minyak, Siak punya perusahaannya. Sejak otonomi daerah, Siak berkembang sangat pesat. Siak yan semula hanya sebuah kecamatan tak penting di Kabapaten Bengkalis, dulu cuma terdiri dari Istana Siak dan beberapa rumah penduduk di sekitarnya. Saya ingat beberapa tahun yang lalu ke Siak dengan speedboat, keliling kota itu hanya bisa dilakukan dengan becak. Belum banyak kendaraan di sana dan jalan-jalan sedang dibangun. Jembatan Sulthanah Latifah belum ada. Orang menyeberang Sungai Siak dengan sampan.
Saya ingat, bernegosiasi biaya keliling kota Siak dengan tukang becak itu. Biayanya Rp40 ribu. Ngos-ngosan dia membawaku berkeliling. Ya maklumlah, tak usah dibahas ya, membuka aib sendiri itu judulnya.
Tapi acara jalan-jalan itu hanya perlu waktu sekitar satu jam saja. Dengan becak lo, bukan mobil. Masih teringat, hutan-hutan raya ditebangi untuk membangun jalan, membuka keterisoliran.
Sekarang, Siak sudah cantik.

Oke, balik ke aset Malinda Dee. Bang Hasan gagal merayu penjual duren dan kami terpaksa meneruskan perjalanan dengan kecewa. Sepanjang jalan kami memperhatikan pinggir jalan, tapi tak ada lagi yang menjual duren.
Di Perawang, kami meminta izin pada pihak PT CPI (terima kasih buat Mbak Rinta dari Humas CPI), agar mengizinkan mobil kami melewati jalan mereka. Jalan Chevron menyingkat waktu perjalanan hingga setengah jam dari Perawang ke Pekanbaru, ketimbang lewat jalan umum. Mana jalan umum banyak yang rusak, pengguna jalan ugal-ugalan lagi. Pokoknya bahaya deh!
"Ada yang tahu jalannya? Setahu saya di jalan itu juga banyak belokan. Nanti kita malah nyasar ke Minas," kata Adit.
"Tenang," kataku, "Chevron ini lebih kaya dari Siak. Jadi mereka pasti punya dana untuk membuat rambu-rambu jalan."
Benar saja, tiga puluh menit kemudian, kami muncul di Rumbai. Huuf.. lega. Walau gagal mendapatkan 'aset' Malinda, tapi senang bisa pulang ke rumah. Anak-anak, emak klean pulaaang....! (tamat)

Selasa, 26 April 2011

Makan Lokan Sebesar Mouse Komputer

Bengkalis Journey Part 3


Bangun pagi, kami langsung check out. Menyesal saya, karena mengira akan balik
lagi, jadi tak mandi. Ternyata kemudian, pas injury time, dibilang, sudah check out. Ya sudahlah, maafkanlah diriku karena gak mandi, :-(
Kami pagi itu pergi sarapan. Pak Gatot yang udah kelaparan, terpaksa mengaku enak makan Indomie rebus di kedai dekat hotel. Sedang yang lain, dijamu Adi Sutrisno sarapan di Kedai Kopi Cerebon, dekat Pantai Marina.
Kedai Kopi Cerebon ini rupa-rupanya favorit para petinggi negeri. Bahkan Bupati Siak Arwin AS yang berasal dari Bengkalis, juga suka mampir di sana kalau ia berkunjung ke kampung halamannya itu.
Saya memesan soto. Saya kira akan lebih kurang samalah dengan soto-soto yang biasa dimakan di Pekanbaru. Entah itu soto Medan yang bersantan, soto Pekanbaru yang bertauge atau soto Padang yang bertabur daging sapi goreng seperti dendeng. Ternyata, ini soto yang lain lagi. Memang ada kuahnya, bihunnya dan suwiran daging ayamnya. Tapi ternyata bihunnya digoreng, Saudara-saudara, sehingga itu bihun yang biasanya mengendap di dasar mangkok, lebut di mulut, mengapung di permukaan mangkok dengan riang gembira. Sempat melongo melihatnya, gak paham, ini apa? Tapi sudahlah, lain lubuk lain sotonya...
Kami lalu pergi ke Bantan, khususnya ke Pantai Selat Baru dan Pelabuhan Bandar Seri Setia Raja, sebuah pelabuhan internasional di muara Sungai Liong. Pertama-tama, kami main-main dulu di Pantai Selat Baru. Pantai ini, mengalami abrasi yang cukup hebat dan dari tahun ke tahun, makin jauh ombak menggerus pantai ini. Adi menunjuk beberapa tonjolan batu di tengah laut yang kebetulan sedang pasang surut itu. "Itu dulu daratan, bekas rumah orang. Sekarang sudah hilang ditelan ombak," katanya.
Untunglah, Pemerintah Kabupaten Bengkalis mengambil tindakan cepat. Pantai itu ditutupi dengan sejenis matras yang cukup kuat, sehingga pasir-pasir halus tidak terseret ke dalam laut bila pasang naik dan ombak kuat menerjang. Matras biru itu konon didatangkan dari Australia.
Si Dona mengamati umang-umang yang ditemuinya di sela-sela batu karang. "Umang-umang ini, akan keluar dari sarangnya kalau ditiup," katanya. Beberapa kali ia berusaha membuktikan teorinya, sayang, gagal semua. Umang-umang Bengkalis jaga gengsi pulak rupanya di depan orang Pekanbaru, hahaha...


Di pinggir pantai, deretan pondok-pondok para pedagang, berjejer dengan rapi. Umumnya mereka menjual seafood, kelapa muda dan mie instant. Pak Gatot memesan lokan segede mouse komputer yang diolah dengan cara ditumis, lalu dimakan dengan mencelupkannya ke dalam kecap. Wih, sedaap...

Berbondong-bondongnya pasukan kami menghabiskan tiga porsi lokan itu. Bang Hasan bilang, dari semua jenis seafood, lokan itulah yang paling cepat meningkatkan kolesterol dan juga libido. "Wah, kalau gitu kita harus cepat-cepat pulang setelah ini," kata yang lain. Tapi tetap aja itu lokan gurih terus dimasukkan ke mulut.
Saking cepatnya reaksi lokan ini, Bang Hasan sampai keseleo menyebutnya 'lakon'. Kami semua dapat memakluminya. Habislah Beliau kena ledek sampai balik ke Pekanbaru.
Pak Gatot, menambah menu sarapan paginya dengan jatah makan siang si ibu yang punya warung. Ikan laut yang digoreng si ibu, tiga potong habis diembat si Bos. Ya udah, itung aja Bu. Jangan lupa, ingat wajah pelakunya ya, hahaha...

Kami meneruskan perjalanan ke Pelabuhan Internasional Bandar Seri Setia Raja (BSSR). Lokasinya sangat cocok untuk jin buang anak. Jauuuuh sekali dari pemukiman penduduk. Benar-benar di ujung terluar Bantan, tepatnya di muara Sungai Liong. Kami melihat satu speedboat sedang sandar di dermaga. Jadilah kami manfaatkan speedboat itu sebagai background foto-foto narsis.
Pelabuhan BSSR setahu saya selaku 'pemerhati' Bengkalis, tak kunjung habis dirundung masalah. Sebelumnya, lama pelabuhan itu tak difungsikan walau sudah siap. Masalahnya, tak ada kapal yang mau ke sana, karena sarana jalan menuju pusat kota. Berat di ongkos. Pelabuhan lama dipandang sudah cukup strategis.
Selain itu, izin operasional pelabuhan bertaraf internasional itu masih dipertanyakan. Ada juga yang bilang pelabuhan itu ilegal.
Masalah lainnya, Sungai Liong sepanjang waktu membawa lumpur dari hulu sehingga muara sungai itu mengalami pendangkalan. Berapa biaya pengerukannya, supaya kapal tidak tersangkut di lumpur? Empat miliar setahun! Buseeet.....Duit semua tuh Boz?
Akibat lumpur itu, pengelola speedboat yang melayani rute Bengkalis-Malaka, mencak-mencak. Pasalnya, kapal mereka tersangkut di mulut muara sungai oleh lumpur. Harus ditunggu pasang naik dulu baru kapal bisa bergerak. Menunggu ini, bisa makan waktu hingga empat jam. "Lebih lama bengongnya daripada perjalanan Bantan-Melakanya," kata penumpang, yang kebetulan anggota DPRD Bengkalis pulak. Alamak...
Pernah pula ditawarkan solusi menurunkan penumpang dengan memindahkan mereka ke kapal patroli petugas, lalu dibawa ke dermaga, sementara kapalnya sendiri nyangkut di tengah laut. Proses pemindahan ini tentu beresiko tinggi terhadap keselamatan penumpang. Pengelola dan penumpang mencak-mencak lagi.
Kesannya memang serba dipaksakan. Namun itu harus dilakukan pemerintah, karena pelabuhan bernilai miliaran rupiah itu (mana pula ada proyek di Bengkalis yang murah?) sudah terlanjur dibuat. Pemerintah mau tak mau harus memungsikannya, agar tak berubah jadi sarang hantu.
Begitulah. Setelah itu, hujan mulai turun. Awalnya gerimis, lalu tambah lebat. Rencana mau mampir ke rumah Adi, terpaksa dibatalkan. Mobil meluncur langsung ke Pelabuhan Roro. Kami mengantri sebentar lalu masuk ke roro itu.
Oh iya, sempat terjadi insiden memalukan di roro itu. Saat mobil diparkir sesuai instruksi petugas, Adit lupa menurunkan kami di tempat yang lapang. Jadilah para penumpang terkurung di dalam mobil. Pintu gak bisa dibuka sempurna karena di kiri kanan sudah ada mobil lain. mas Eko berhasil menyelip keluar. Bang Hasan dan Bang Haspian, juga sukses. Pak Gatot juga. Tinggal aku...tersangkut di pintu mobil. Gak bisa lewat karena size yang super ini. Hiks hiks...Tapi untunglah, berkat perjuangan yang gigih, berhasil juga aku lolos dari pintu maut ini. Untung juga, fotografer kami Mas Eko, sudah pergi duluan, sehingga moment bersejarah itu
hanya disaksikan segelintir orang dan tak ada yang tertarik untuk mengabadikannya. Kalau tidak, alamat dunia akan melihat aku nyangkut di pintu mobil. Hi...
Sekitar 40 menit kemudian, kami menginjakkan kaki kembali ke tanah Pulau Sumatera. Mobil dipacu menuju Pekanbaru. (bersambung

Senin, 25 April 2011

Sarang Walet Lebih Bagus daripada Rumah Manusia

Bengkalis Journey Part 2

Begitu melihat jembatan yang menjulang tinggi seolah menuju ke langit ke tujuh itu, anggota tim ini langsung kasak-kusuk pingin foto-foto. Biasalah, niat jeleknya tak lain tak bukan, membuat iri teman-teman di kantor yang tidak bisa ikut. Jepret!
Pak Gatot sepertinya sangat phobia dengan yang namanya pedagang. Makanan apa aja yang dijajakan, semua pingin dicobanya. Memanfaatkan ini, seorang pedagang es krim Walls mengekor kami terus. Bahkan kalau kurang segan sikit lagi aja, sudah ikut-ikutan mejeng foto bareng kami abang tukang es krim itu. Pak Gatot pun mencomot satu es krim dan anggota timnya tentu gak mau ketinggalan. Jadilah kami berpose di atas jembatan itu sambil megang itu es krim.
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan. yang paling berkesan bagiku adalah saat kami memasuki kawasan Kecamatan Bunga Raya. Sejauh mata memandang,sawah hijau menghampar luas. Duuh... sejuknya mata memandang. Jadi pengen jajan lagi, hahaha....
Selama ini saya kira Riau itu hanya dipenuhi kebun sawit dan karet. Eh, di Bunga Raya, pemandangan yang berbeda terhampar mementahkan asumsi itu. Jalanan juga relatif bagus. Beda dengan jalan menuju Sumatera Barat atau Kabupaten Rokan Hulu yang berliku-liku, di arah pesisir timur Pulau Sumatera ini, orang membangun jalan lurus sejauh mata memandang. Hanya satu sayangnya, rambu-rambu jalan, terutama di perempatan atau pertigaan, nyaris tidak ada. Terang saja kami yang memang belum pernah menempuh jalur itu, rada-rada bingung.
Untung beribu untung, Bang Haspian Tehe dengan sukarela turun dari mobil untuk bertanya pada warga setempat. Umumnya jawabnya, belok kiri, belok kiri, belok kiri terus. Sampai-sampai aku nyeletuk usil, "Belok kiri terus! Jangan-jangan kita dikerjain nih, disuruh muter-muter di sini aja."
Di sebuah pertigaan, kami temukan rambu-rambu yang aneh. Di plang itu, di bawah tanda panah ke kiri, ditulis Dumai dan kota entah apa lagi. Lalu panah ke atas, Sungai Pakning dan panah ke kanan nama kota yang lain lagi. Kami ngakak abis melihat rambu-rambu itu. Pasalnya, itu pertigaan, bukan perempatan. Jadi kalau rambu-rambu itu diikuti, terpaksa rumah penduduk di sela-sela pohon sawit kami terobos, demi sampai ke Sungai Pakning.
Untung ada penjual pisang molen di pertigaan itu lagi mangkal. Nunggu kami ya Bang? Terpaksa kami borong pisang molennya buat snack di mobil. Dialah yang memberi petunjuk bahwa kalau mau ke Sungai Pakning, kami harus belok kanan.
Kami sampai juga di Sungai Pakning, dan siap-siap menyeberang ke Pulau Bengkalis. Ada pemandangan yang cukup menyita perhatian saya di Sungai Pakning maupun di Siak Kecil. Di sini, banyak warga yang membangunan sarang burung walet. Bahkan hingga ke tengah kota Bengkalis pun kemudian, kami melihat rumah-rumah toko yang disulap menjadi sarang burung walet. Ciri-cirinya gampang sekali dikenali. Kalau rukonya tak ada jendelanya dan di dindingnya hanya dibuat lubang-lubang kecil seukuran diameter sebuah cangkir, tandanya ruko itu untuk burung walet. Tidak sedikit saya lihat, ruko dari semen berdiri tiga lantai di samping rumah penduduk yang terbuat dari kayu. Iya, lebih keren sarang walet daripada 'sarang' manusianya. Sayang tak sempat mengambil foto.
Selain itu, sepertinya antara warga keturunan Melayu, Batak dan Tionghoa, hidup berdampingan dengan damai di sini.
Kami beruntung, roro yang akan menyeberangkan kami dari Pulau Sumatera ke Pulau Bengkalis, segera berangkat. Jadwalnya, setiap satu jam sekali. Waktu itu, arloji di tangan Dona (aku gak punya arloji, hiks, hiks... ada yang mau menyumbang?) menunjukkan pukul 16.45. Seperempat jam lagi roro akan jalan. Aku senang. Ini pengalaman kedua naik roro. Dulu waktu melakukan ekspedisi ke Pulau Rupat dari Dumai, juga naik roro. Hanya 30 menit. Sekarang, lebih kurang 40 menit, tergantung kuatnya arus dan angin.
Roro yang kami tumpangi ini, lumayan bersih. Toilet cukup, ada kantin yang menyediakan pop mie, minuman kaleng, snack, televisi dengan siaran dari Malaysia (rada aneh telingaku melihat bule-bule dalam film Hollywood 'bermakcikria' dalam film itu), serta musala! Duh, girang banget ketemu musala karena aku memang belum Salat Zuhur. Jadi aku langsung salat dulu, jamak takhir. Aku terpaksa melewatkan sesi pemotretan berjudul 'Di Atas Roro', hiks hiks...
Empat puluh menit kemudian, kamipun menginjakkan kaki di Pulau Bengkalis. Nofri Slalu Dihati, kepala biro Riau Times di Bengkalis, menyambut kami di pelabuhan. Senyumnya lumayah lebar. Senang yaa?
Dia memandu kami melihat kota sepanjang 5 kilometer itu. Begitu gurauan orang-orang tentang pulau kecil itu. Jalan-jalan di tengah kota cukup luas, bahkan ada yang tiga jalur kiri-kanan. Rumah-rumah warganya, banyak yang berpagar stainless steel, seolah ini lambang kemakmuran. Demikian pula rumah-rumah dinas dan kantor pemerintahan, megah. Mungkin ini memang wajar, mengingat PAD Bengkalis sebagai penghasil minyak terbesar kedua di Indonesia.
Nofri Slalu Dihati mengundang kami ke rumahnya dan disuguhi teh panas dan pisang goreng. Hm sedaap... Maghrib, kami pergi ke hotel untuk bersih-bersih dan istirahat sejenak.
Wisata kuliner dilanjutkan malam itu. Pak Gatot pengen makan seafood. Nofri mengajak kami mencari kedai-kedai yang menyediakan seafood. Sempat muter-muter melihat kota itu.
Tapi tak ada yang berkenan. "Atau mau makanan Padang? Ada nih, langganan ambo," katanya. Hallo.... jauh-jauh ke Bengkalis masih juga harus makan masakan Padang???
Untung Bang Hasan berhasil mengontak Adi Sutrisno, kolega kami di Humas Pemkab Bengkalis. Dia mantan wartawan yang sekarang sudah PNS. Dia mengajak kami makan seafood di kantor DPC PKS Bengkalis.
Aku memesan Ikan Senangin Saus (piring kedua dari kiri). Ikan senangin ini, menurut Adi, adalah jenis ikan paling top markotop di Bengkalis. Lezat tiada tara dan jadi rebutan para nelayan.
Hidangan seafood pun dihidangkan. Lezaaat....Ada juga udang dan aku mengikuti nasehat si Abang di rumah, kalau makan udang, sekalian sama kulitnya. Itu semacam antobodi untuk mencegah alergi. Agaknya kawan kita yang satu itu sudah belajar banyak dari pengalamannya menjadi 'Satria Bergitar Sepanjang Malam', gara-gara pesta udang. Dia lupa memakan kulit udangnya, sehingga tak bisa tidur akibat gatal-gatal. Jadi sejak itu, setiap kali makan udang, aku sikat sekalian dengan kulitnya. Pesan: Berbahaya. Jangan dicobakan di rumah, bila Anda gak punya
gigi... :-P
Setelah semua terkapar kekenyangan, kami melanjutkan menghabiskan malam di Pantai Marina. Pantai itu, menjadi menarik karena kasus korupsinya yang gila-gilaan. Bayangkan saja, pantai itu ada berkat adanya reklamasi oleh Pemkab. Jadi seperti Singapura dan Belanda yang menimbuni kawasan lautnya untuk dijadikan daratan, Bengkalis juga begitu. Hebatnya, setelah itu laut ditimbun, tiba-tiba muncul seseorang yang mengklaim itu tanah nenek-moyangnya. Terpaksalah Pemkab keluar duit miliaran rupiah untuk ganti rugi.
"Jadi jangan salah Mas," kata Nofri, "Di Bengkalis ini, laut pun ada pemiliknya. Coba aja timbun kalau tak percaya, nanti pasti ada orang yang mengaku itu peninggalan nenek moyangnya."
Hampir tengah malam, kami baru balik ke hotel. Hotel itu benar-benar hotel melati (memelas hati). Pasalnya, kamar yang aku tempati dengan Dona, tempat tidurnya keras, dekil dan tanpa selimut. Belum lagi kamar mandinya, penuh nyamuk dan dindingnya kotor. Sepertinya kalau saya buka usaha jualan pembersih lantai dan keramik di sini, laku nih! Belum lagi airnya coklat, mengalahkan coklatnya teh pekat. Bagi yang tak bisa, tak usah sok hebat berkumur saat gosok gigi dengan air ini, dijamin mual!
(bersambung)

Minggu, 24 April 2011

Serunya Mencari Jembatan Perawang

Bengkalis Journey Part 1


Setelah bertahun-tahun 'mengendalikan' Bengkalis, akhirnya Sabtu-Minggu (23-24 April 2011) kemarin saya berkesempatan juga menginjakkan kaki di pulau itu. Eit, jangan salah sangka dulu, 'mengendalikan' itu hanya sebatas berita-berita yang masuk dari kabupaten itu di koran tempat saya bekerja sebelum pindah ke Harian Riau Times.
Sabtu pagi sekitar pukul 9.30, Mas Eko Manajer Personalia Riau Times bersama Adita Warman, Manajer Produksi, datang menjemput. Hebat gak tuh, dua manajer sekaligus menjemput aku! Ck ck ck... (mulai narsis)
Setelah jemput sana sini, akhirnya terkumpullah tujuh anggota rombongan Bengkalis Journey itu. Terdiri dari Pak Gatot Bibiono (Pemimpin Redaksi Riau Times), Eko Susilo, Adita Warman, Hasan Basril (Redaktur Pelaksana), Haspian Tehe (Koordinator Liputan), saya dan Dona Rahayu (reporter).
Perjalanan start sekitar pukul sebelas pagi. Kami langsung tancap gas menuju sebuah minimarket di daerah Rumbai, tepatnya di depan PCR, buat beli air mineral dan kacang, hehehe...
Ini memang judulnya wisata kuliner. Jadi belum apa-apa, makanan sudah distok. Lalu mobil melaju menuju Perawang. Dona di jok belakang belum apa-apa sudah asyik dengan rutinitasnya kalau melakukan perjalanan jauh: TIDUR. Mas Eko tak lupa mengabadikan wajah Dona saat merem.

Bertemu Syarwan Hamid
Kami makan siang di RM Lembah Anai, Perawang (Lembah Alay, kata si Bos). Kami menjatuhkan pilihan ke restoran masakan Padang ini karena iklannya yang sangat menggoda di depan etalase, SEDIA GULAI GAJEBOH. Mantaap... itu para lelaki prikitiw pada kegirangan karena punya alasan meningkatkan kolesterol tanpa takut dimarahi istri. Uhui...
Manajer Produksi kami yang kalem, Adit, tetap konsisten tidak makan lemak dan memilih menu ayam. Hingga kami pulang dari Bengkalis pun, Adit tetap konsisten. Sampai-sampai Pak Gatot meledek dia, "Makan ayam terus, nanti kamu kayak ayam lo!", dibumbui dengan pelototan mata yang dibalas Adit dengan senyum mesra. Tapi ia tak gentar. Sekali ayam tetap ayam!
Tentu beda dengan aku, berpantang makan ayam di tempat yang menyediakan seafood segar bebas formalin. Ih, udang goreng cabenya terasa gurih, beda dengan udang yang kita beli di pasar di Pekanbaru, yang rata-rata sudah keluar dari lemari pendingin. Aku sikat deh!
Kami bertemu Syarwan Hamid, mantan Menteri. Beliau baru kembali dari Siak, menghadiri haul Sultan Syarif Kasim II. Pak Gatot sempat berbincang-bincang dengan Pak Syarwan. Letjend ini mengaku kecewa dengan pembangunan di Riau yang menurutnya sebagian tidak efektif. Ia mencontohkan Perpustakaan Soeman Hs yang bertiang besar-besar itu.
"Lebih mahal tiangnya daripada bangunannya. Nanti pas PON ada lomba panjat tebing, panjat aja tiang itu," katanya.
Setelah foto-foto beberapa jepret, kami melanjutkan perjalanan. Kami ingin mencoba jembatan baru di Perawang. Tapi tak ada satupun dari anggota rombongan ini yang pernah ke sana sebelumnya. Jadilah kami tiap sebentar turun dari mobil, tanya sana-sini. Terima kasih untuk Bang Haspian Tehe atas dedikasinya menanyai setiap orang yang ditemui di simpang jalan, untuk menanyakan dimana letak jembatan itu tepatnya. Kalau tak ada Beliau ini, mungkin kami sekarang sudah nyasar sampai ke Malaka!
Setelah melewati jalan tanah yang lumayan jelek, dan beberapa kali turun dari mobil untuk menginterogasi penduduk setempat, akhirnya kami menemukan juga jembatan itu. Ironisnya, kami tak tahu bahwa tak jauh dari jalan tanah itu, ada jalan mulus beraspal yang langsung menuju jembatan itu. Allamaaaakkk!!!
Besok sambung lagi ya! Sudah pukul setengah dua belas malam nih! (Minggu (24/4/2011)

Minggu, 17 April 2011

PT CPI Berpartisipasi di RIEX 2011


Teknologi Kunci Pengembangan Energi Masa Depan


Seorang karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) tengah menerangkan tentang cara kerja perusahaan minyak itu kepada puluhan mahasiswa Universitas Lancang Kuning (Unilak), Kamis (14/4/2011) di arena RIEC 2011, Labersa Hotel, Siak Hulu, Pekanbaru. foto oleh humas CPI.

Pekanbaru-PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) membuka stand di Riau International Energy Expo (RIEX) 2011 sebagai wujud partisipasi dalam acara ini.
Saat dikunjungi di Hotel Labersa, Siak Hulu, Kampar Kiri, Kamis (14/4), terlihat serombongan mahasiswa Universitas Lancang Kuning (Unilak) tengah mendengarkan keterangan dari Petroleum Engineer CPI Helda Martinella serta beberapa staf CPI lainnya. Sebuah touch screen (layar sentuh) berukuran sekitar 3,2 x 1,8 m, yang didatangkan langsung dari Amerika,terlihat menempel di dinding. Touch screen itu berisi segala informasi tentang wilayahoperasional Chevron di berbagai belahan dunia. Para mahasiswa itu bergerombol di sana untukmendengarkan keterangan tentang proses ekplorasi dan eksploitasi minyak bumi.
Dikatakan oleh Manajer Komunikasi CPI Hanafi Kadir melalui Okta Fandi, teknologi akan menjadi faktor utama dalam pengembangan sektor minyak dan gas di Riau ke depan.
Seiring kondisi lapangan yang semakin tua, terobosan teknologi sangat dibutuhkan dalammembantu optimalisasi jumlah minyak yantg dapat diangkat ke permukaan bumi. Hal tersebutsecara otomatis turut memperpanjang usia produksi lapangan, sehingga aktivitas migas dapatlebih lama lagi berkontribusi terhadap perekonomian Riau.
"Saat ini sekitar 80 persen lapangan minyak di Riau merupakan lapangan tua. Teknologi akan sangat berperan untuk menjadikan lapangan minyak ini dapat terus memberikanhasil yang optimal," kata Okta.
Faktor penting itulah yang ditampilkan Chevron di arena RIEC 2011. Chevron juga tengah mengujicobakan alternatif teknologi lainnya, yaitu surfactant, untuk optimalisasi recovery diLapangan Minas. Sementara di Kalimantan Timur, Chevron menjadi pionir dalam pengembangan proyek migas lepas pantai yang akan menjadi proyek paling dalam (ultra deep water) di Indonesia.
"Kedalamannya sekitar 2-3 km di bawah permukaan laut. Kalau sudah kedalaman seperti itu, bukan manusia lagi yang bekerja, tapi main remote aja," terus Okta pula.
Selain topik teknologi, anjungan Chevron juga menampilkan tentang keselamatan, keunggulan operasi dan kontribusi terhadap perkembangan daerah. Keberadaan Chevron selama lebih dari 85 tahun bermitra dengan pemerintah dan masyarakat Riau juga ditampilkan dalam pameran itu.
Chevron juga berbagai pengalaman terkait posisinya sebagai penghasil energi panas bumi (geothermal) terbesar di dunia. Sr VP Chevron Geothermal Isikeli Taureka, kemarin menjadi salah satu pembicara dalam sesi diskusi panel. Geothermal merupakan sumber energi bersih yang dapat menjadi sumber energi alternatif di Indonesia yang memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, sekitar 27.000 mw.
Presiden Direktur PT CPI Abdul Hamid Batubara, saat menjadi salah seorang keynote speaker dalam acara pembukaan RIEC 2011, Selasa (12/4), mengatakan, kebutuhan energi dunia meningkat 40 persen hingga 2030. Hal tersebut tentu harus diantisipasi karena energi merupakan kunci pendorong pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup manusia.
"Setidaknya ada tiga hal yang turut berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan energi masa depan, yakni sinergi, penerapan berbagai terobosan teknologi dan kemitraan. (yan)

Kamis, 14 April 2011

Permainan Askan

Rabu (13/4) malam, Allah mengabulkan doaku. Aku pulang ke rumah dalam keadan hujan belum turun. Waktu itu sekitar pukul setengah sebelas malam. Baru setelah sampai di rumah, hujan lebat turun. Ini sesuai dengan prakiraan BMKG Pekanbaru, hujan berpotensi turun di sore, malam atau dini hari. "Wah, itu jam kerja kita tuh!" seruku di kantor tadi sore.
Pokoknya alhamdulillah tidak kehujanan seperti malam sebelumnya. Kukira anak-anak sudah tidur jam segitu. Ternyata tidak. Mata si Tata dan kakaknya masih menyala-nyala. Mereka asyik menonton televisi di dalam kamar.
Saat aku sedang berganti pakaian di kamarku, si Tata datang berlari-lari. "Ma, cepat ke sini Ma! Ada permainan Askan di tivi!"
"Ya ya sebentar, Mama ganti baju dulu," kataku. Ia langsung lari lagi ke kamarnya untuk melihat 'Permainan Askan' itu.
Aku sempat berpikir, ini permainan apa lagi? Kok di tivi? Maksudnya di VCD mungkin? Tapi permainan apa? Rasanya tak mungkin papanya mau membelikan anak-anak games. Jadi apa dong?
Maka sambil menahan penasaran, akupun cepat-cepat berganti pakaian lalu masuk ke kamar anak-anak. Seperti biasa, kamar itu hancur berantakan. selimut terhampar seperti karpet di lantai, buku berserakan di kasur, di meja belajar dan baju seragam sekolah si Tata, masih teronggok di sudut lemari. Televisi persis ada di samping pintu kamar, jadi tak dapat kulihat seperti apa wujud 'Permainan Askan' itu.
Sebelum naik darah, aku suruh keduanya mengemasi semua yang berserakan di kamar itu. Si Rara menurut patuh, sedangkan si Tata langsung berkata, "Lihat itu Ma, ada Permainan Askan!"
Aku menoleh. Yang ada di MNC TV cuma film India. "Mana Permainan Askannya?"
"Itu!"
Tata menunjuk film India itu. Aku masih belum paham. Lalu ia menunjuk-nunjuk Shakh Rukh Khan (semoga tak salah tulis nama, gak idolaku sih!) yang masih lumayan muda, dalam film itu.
....
Masih blank.
"Mana Permainan Askan?"
"Ituuuu... itu kan orang yang sama dalam film Permainan Askan!"
Si Rara akhirnya menjadi translator, "Maksud Tata itu, film My Name is Khan, Mamaaaa..."
Oalaaaaaah......
My Name is Khan tooooooooooo.......................

Senin, 11 April 2011

Buku tabungan Tata

oleh Fitri Mayani pada 13 Juli 2010 jam 22:35
Tadi saat akan pulang sekolah, ibu guru Tata memberikan para murid sebuah buku berwarna kuning. Katanya, "Ini namanya buku tabungan ya Anak-anaaaaak.... Mulai besok, anak-anak ibuk sudah boleh menabung. Jadi anak-anak tak boleh membawa uang jajan ke sekolah, kecuali untuk ditaaa...."
"Buuuuung...." koor anak-anak kecil itu.
Maka dibagi-bagilah buku itu. Senang sekali si Tata juga kebagian. Kakaknya memberi petunjuk, bahwa semua yang yang ia dapatkan dari mama atau papa, atau juga dirinya, boleh ditabungnya di buku itu. Nanti kalau ia sudah tamat TK, uang tabungan itu akan banyak, cukup buat pergi jalan-jalan ke Amerika,
misalnya...(menghayal.com).
Siang itu, setelah letih muter-muter mencari kekurangan buku tulis si Rara dan menyampulnya, aku bertanya, "Rara, salonnya masih buka? Mama mau perawatan punggung nih!"
"Sori Ma, salonnya udah tutup. Rara mau siap-siap pergi sekolah."
Tiba-tiba si Tata muncul dengan wajah cerah seria. "Sama Tata aja Ma. Tata juga punya salon."
"Gratis?" Secara kemarin dia menggratiskan perawatan punggung dan kepala khusus untukku.
"Tidak, mama harus bayar. Nanti uangnya mau Tata tabung di sekolah."
Aku tertawa. Kreatif! Kecil-kecil sudah matre!
Maka akupun memulai perawatan punggung siang itu dengan si Tata. Tapi sebelumnya, ia berlari-lari dulu ke salon kakaknya di lantai atas untuk mengambil daftar harga. Begini kira-kira isi daftar itu

Salon Rara

1. Perawatan Wajah Rp2.000
2.Perawatan Badan Rp2.000 (ini maksudnya punggung, red)
3.Perawatan Tangan Rp2.000
4.Lulur Rp3.000

Karena pelanggan tetapnya berambut keriting, di bagian paling bawah daftar itu ditambahkan: Perawatan rambut ikal Rp3.000. Akibat daftar harga ini, aku telah berutang hingga Rp17.000 di salon itu gara-gara si Tata tiap hari melakukan anekaperawatan.
Daftar itu disodorkan Tata padaku sambil bertanya, aku mau perawatan yang mana. Kupilih spesialisasiku, perawatan badan seharga Rp2.000. Segeralah petugas salon itu mengolesi punggungku dengan handbody dan mulai mengurut.
"Mama mau perawatan apa lagi selain perawatan punggung?"
Aku mikir-mikir, kira-kira apa ya?
"Tangan sama kepala ajalah,"
"Oke."
Aku tertidur beneran dalam masa perawatan itu. Untuk semua perawatan itu, aku dikenakan biaya Rp7.000. Tata senang sekali menyelipkan uang itu di buku tabungannya. Siap untuk dipamerkan pada si kakak, nanti sore. Lalu memelukku dan ikut tidur siang...(ini pesan penting dari gurunya, bahwa ia harus tidur siang).
Malamnya, kembali aku merasakan nyeri punggung dan bertanya pada Rara, apakah salonnya masih buka malam-malam begini.
"Sori Ma, kalau malam salonnya sudah tutup."
Uh, aku memang lupa, salon itu hanya buka dari pukul 11.00-13.00 WIB...
"Sama Tata aja!" Nah, itu dia, kompetitor kuat Salon Rara.
Berhubung daftar harga milik Salon Rara yang tadi siang raib entah kemana, Tata terlebih dahulu mendesakku untuk membuatkan daftar harga yang baru. Isinya lebih kurang sama, tapi ada beberapa tambahan yang lucu, seperti 'Perawatan citra handbody campur senilai Rp3.000', 'Perawatan jari Rp9.000' dan 'Perawatan kuduak Rp3.000.'
Sembari menikmati perawatan badan, Tata mempromosikan keunggulan salonnya, yaitu perawatan jari. "Mama mau coba perawatan jari? Enak lo Ma!"
"Ah, nggak ah, badan aja."
"Eh, ini perawatan spesial!"
Okelah, aku menurut. Ternyata perawatan itu hanya jari-jari kita dipegang erat-erat. Gitu aja. Biayanya Rp9.000.
Begitu selesai, ia langsung menagih.
"Tunggu Mama gajian ya, lagi bokek nih!"
Ia siap berguling-guling untuk menuntut haknya. Tak terima utang rupanya.
"Aaa...pokoknya bayar...."
"Iii... Tata nggak kasian sama Mama.." aku mulai main perasaan. Ia langsung KO.
"Iyalah... utang dulu... Berapa semuanya?"
"Lima ribu aja ya?"
"Kok cuma lima ribu?" Biasa, tak mau rugi, sifat alami para pedagang dan penjual jasa.
"Iya, perawatan punggung dua ribu, kuduak dua ribu tambah jari seribu."
"Perawatan jari kok seribuuuu? Di situ kan ditulis sembilan ribu.." dia merengek sambil menghentak-hentakkan kaki.
"Ah, segitu aja!" aku bersikeras.
Si Rara terpingkal-pingkal. Mencari aman, karena ini juga sudah pukul sembilan malam dan aku mau cepat-cepat ke kantor, kujanjikan utang itu semua lunas begitu aku gajian. Baru dia senang.
"

Pernikahan di Mata Tata

oleh Fitri Mayani pada 18 Juli 2010 jam 22:25
Buat yang jomblo dan ingin menikah, mungkin perlu meniru si Tata, anakku. Menjelang usianya yang ke-5, 3 Agustus nanti, ia sudah merencanakan pernikahannya kelak. Hanya logikanya yang agak membingungkan. Cekidot!
Jadi ceritanya, saat aku sedang duduk di depan komputerku, dia datang, minta adik laki-laki. Hah?! Siang-siang gini?!
"Ma, Mama melahirkan lagi dong, anak laki-laki."
Jawaban spontanku tanpa mikir, "Ah, repot Mama. Kamu sama kakak aja sudah sering bikin sakit kepala,"
"Jadi, di rumah ini cuma ada Papa dong yang laki-laki."
"Ya."
Dia diam beberapa detik. Beberapa detik yang damai...Mungkin ia sedang mikir. Tau-tau ia meledak, "Masa Tata menikahnya sama Papa?!"
Nah lo, aku kan jadi bingung sama logika anak ini.
"Mana mungkin kamu menikah sama Papa? Papa ya papa, suami Mama, bukan suami Tata."
"Jadi Papa hanya boleh menikah sama Mama?"
"Yah, begitulah, sejauh ini." ;P
"Terus Tata nanti menikah sama siapa?" dengan nada khawatir.
"Tata harus menikah sama orang lain. Papa ya Papa Tata dan Tata tidak boleh menikah dengan Papa."
"Orang lain itu mana mau menikah sama Tata. Dia kan gak kenal sama Tata?"
"Ya kenalan dulu doong..."
"Orang lain itu siapa?"
"Ridho misalnya...." Ridho Roma maksudnya... tata's first love.
Demi mendengar nama Ridho disebut, dia pura-pura tak peduli.
"Jadi gitu Ta...kita menikahnya harus dengan orang yang bukan keluarga kita."
"Sama Afgan boleh?"
Oh, setuju banget jadi besannya Afgan.. Ciiiintaaku bukanlah ciiinta biiiiasaaaaa....bila kamu yang memilikiiiii....Aku senyum-senyum.
"Tapi Tata menikahnya nanti kalau sudah besar ya. Kalau sekarang, susah. Siapa yang jaga anak Tata kalau Tata pergi sekolah? Mama kerja, Papa kerja, Afgan pergi nyanyi, kakak sekolah..."
Aku mulai mengkhayal ngawur, sedang Tata tertawa geli...

Siapa Namanya?

Sore ini, si Tata (5 tahun) mendatangiku yang sedang duduk di depan komputer, lagi buka-buka FB. Ini dialog kami. Cekidot

Tata : Mama, nanti kalau Tata melahirkan, siapa namanya?

Aku : Mama Tatalah... (pura-pura bodoh)

Tata : Bukan Tata... tapi anaknya...

Aku : O... itu tergantung suami Tata nanti, mau ngasih nama siapa

Tata (bengong sebentar): Tapi Tata kan suaminya gak ada?

Aku : Iya ya? Terus, siapa bagusnya suami Tata?

Tata : Ng...ngg.....

Aku : Ridho gak jadi.. Afgan gimana?

Tata : Tapi katanya nanti kalau Tata sudah besar, Afgannya sudah tua?

Aku ( memutar-mutar kepala sambil menahan senyum agar tak terlihat olehnya) :Yayaya... Kalau kawan-kawan di TK Tata tu, Tata sukanya sama siapa?

Tata : Uje

Aku (menengadah, makin susah menahan senyum) : Hm...boleh juga...Dia baik sama Tata?

Tata mengangguk.

Aku: Tapi bagaimana kalau ternyata dia sukanya sama Anel?

Tata : Sekarang Uje sudah gak main lagi sama Anel...Atau Ivan, dulu dia jahat sama Tata, sekarang sudah baik.

Aku : O...Ivan ya? Okelah kalau begitu...

Tata : Tapi dia itu sekarang rambutnya sudah dipotong...

Sebelum perutku kram, aku berkata, "Tunggu ajalah sampai Tata besar ya, baru kita cari suami, ya?

Ia setuju dan langsung lari pergi main...

Sabtu, 09 April 2011

Obsesi: Makan Bika Ambon

Pertama kali seumur-umur membeli bika ambon di Pekanbaru, aku lakukan pada 31 Desember 2010, ketika ada keluarga datang dari kampung ke Pekanbaru. Rombongan yang terdiri dari beberapa orang ini datang untuk silaturahmi dan menginap di rumah pamanku. Jadi aku mendatangi rumah paman dengan bika ambon di tangan.

Tak sempat kucicipi bika itu karena ada aneka hidangan lain di atas meja. Aneka rupa. Mulai dari yang tradisional yang memang sangat khas Muara Labuh, hingga yang modern sebangsa brownies dan tentu saja bika ambon.

Januari, aku sengaja membeli beberapa kotak bika ambon, hanya untuk dikirim buat keluarga di Padang. Mereka juga penggemar bika ambon dan setahuku, bika ambon yang aku beli itu, benar-benar masih baru, sehingga dapat tahan selama beberapa hari. Untukku sendiri, masih belum sempat aku beli. Pikirku, nanti sajalah, toh rumahku relatif cukup dekat dari tokonya.

Lalu ketika Februari mamaku datang berkunjung selama sekitar dua pekan, aku belikan juga bika ambon untuk oleh-oleh saat pulang ke Padang. Ternyata kiriman yang dulu itu, banyak peminatnya. Jadi sekarang akan senang sekali kalau dapat bika ambon lagi. Baiklah kalau begitu.

Maret lalu, Jumat (18 Maret), sekali lagi aku membeli bika ambon, untuk buah tangan saat menjenguk ibu mertua dan kakak ipar yang baru datang dari Malaysia. Masih tak sempat mencicipinya, karena aku terburu-buru. Waktu itu aku berpikir, nanti kalau ada duit lebih, akan kubeli lagi bika ambon itu, kali ini untukku, anak-anak dan suami. Biar bisa makan sepuasnya. Hm...

Tapi ternyata musim paceklik datang. Aku tak kunjung punya uang. Terkadang ada, tapi bika ambon itu terlupakan dan aku malah beli baju, mengisi voucher Odiva agar bisa merental VCD lagi, beli duku atau bersenang-senang dengan anak-anak.

Sesekali kalau lewat di depan toko penjual bika ambon itu dalam keadaan kantong kosong, aku berkata dalam hati, "Ah, belum juga kesampaian membeli bika ambon buat diri sendiri. Kapan ya..."

Tadi siang, saat sedang di atas motor dengan si Tata, tiba-tiba aku teringat lagi obsesi pingin makan bika ambon itu. Tapi uang di kantong sedang tidak ada. Jadi aku tekadkan dalam hati, begitu ada uang, akan segera aku beli bika ambon itu. Ini sudah tak bisa ditunda-tunda lagi.

Ternyata Allah menjawab keinginan yang hanya terucap dalam hati itu. Saat lagi asyik nonton Get Married 2 di SCTV tadi sore, tiba-tiba kakak iparku datang ke rumah. Tidak sempat duduk pun, hanya mampir mengantarkan sekotak bika ambon pandan! Woow...!

Akhirnya kesampaian juga aku makan bika ambon. Alhamdulillah.... DIA memang paling tahu, kapan waktu yang tepat memberiku kejutan. Thanks God, thanks God, THANKS GOD!

Minggu, 03 April 2011

Coaching Clinic dan Latber BCK Marching Band Meriah



Pekanbaru-Lima ratusan peserta latihan (latber) bersama Marching Band Bahana Cendana


Kartika (MB BCK) terlihat memenuhi halaman Gelanggang Remaja di Jalan Sudirman, Pekanbaru, Minggu (3/4) sore.
Sehari sebelumnya, Sabtu (2/4), dua ratusan peserta dari Riau dan Riau Kepulauan, terlihat serius mengikuti coaching clinic yang digelar MB BCK dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke-24, di MovieTheatre-Rumbai Camp Pekanbaru.
Para peserta ini berdatangan hampir dari seluruh kabupaten di Riau, yaitu Pekanbaru, Dumai, Duri, Kampar, Bengkalis, Pangkalankerinci, Sungaipakning, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Siak, Kepulauan Meranti, Tanjung Balai Karimun dan Tanjungpinang. Coaching clinic yang pertama kali digelar BCK ini juga merupakan yang pertama kali digelar di Riau. Tidak heran bila antusias para peserta sangat besar.
"Jumlah peserta yang kami targetkan melonjak hingga tiga kali lipat. Ini sungguh menggembirakan, karena apa yang kami buat untuk kemajuan marching band di Riau mendapat sambutan yang luar biasa dari para peserta," kata Ketua Panitia Thecla Mirawaty S.

Standarisasi
Diana Sari Sudibyo dari Garuda Drum Corps, satu dari empat pelatih yang khusus menerangkan tentang color guard, mengatakan, hampir sebagian besar peserta hari itu belum mengetahui bahkan pengetahuan paling dasar tentang marching band. Hal ini sangat layak untuk diketahui para peserta agar dapat mengembangkan diri.
"Sama seperti sepakbola ada FIFA, marching band juga punya organisasi internasional yaitu Drum Corps International. Lembaga ini memiliki aturan dan standarisasi. Jadi melalui coaching clinic ini kita berharap, selain untuk silaturahmi, ini juga menjadi ajang standarisasi unit-unit marching band yang ada di Riau," katanya.
Sementara Andreas Manalu dari Gita Teladan, pelatih khusus brass, mengatakan, marching band yang bagus tidak mesti memiliki peralatan yang bagus dan mahal. "Ibarat mobil, kan ada mobil yang dikategorikan mewah, ekonomis, bahkan mobil bekas pun banyak dijual. Di marching band juga begitu," katanya.
Jadi bukan alasan bila tak memiliki alat, lalu sebuah grup marching band tidak dapat berkembang, atau tampil bagus. Gita Teladan telah membuktikan hal itu. Walaupun tidak memiliki peralatan seperti grup lain yang ditopang dana yang kuat, grup ini mampu tampil sebagai juara dalam berbagai event.
"Gita Teladan ini prestasinya luar biasa. Padahal peralatan mereka biasa saja. Andalannya mereka memang bukan alat, tapi skill masing-masing individunya," puji Diana Sari.
Thecla menambahkan, Gita Teladan juga telah memotivasi para anggota BCK yang memiliki peralatan lebih lengkap, untuk tampil lebih baik. Saat ditanya, apakah coaching clinic ini akan dijadikan ajang tahunan, Thecla mengatakan, pihaknya maunya begitu. "Selain itu, kami juga ingin melihat hasil coaching clinic yang dilakukan hari ini, dalam mengembangkan unit-unit marching band yang ada," terusnya.
Kemarin (3/4), dilakukan latihan bersama (latber), untuk mengaplikasikan materi yang telah dipelajari sehari sebelumnya, bertempat di Gelanggang Remaja, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Panitia mencatat sekitar 500 peserta yang menyatakan akan bergabung dalam latber ini. Latber dimulai sejak pagi dan pada sore harinya, sekitar pukul 5, digelar penampilan hasil latber seharian itu. (yan)