Rabu, 04 Februari 2009

Tikus Mati di Jalan dan Warga Kota yang Manja

Setiap kali lewat di jalan itu, selalu saya lihat selokan itu penuh daun-daun kering, botol air mineral dan segala macam sampah lainnya. Air sudah tak mengalir. Menggenang nyaris setinggi permukaan jalan. Karena sekarang musim hujan, tentu tak lama lagi jalan itu akan kembali tergenang air seperti yang sudah-sudah. Biasa, tamu tahunan...

Di tempat lain, saya lihat pula rumput liar tumbuh subur di pinggir jalan. Sudah setinggi betis saya. Hijau segar dan sepertinya akan segera menyebar kemana-mana.

Lalu, pemandangan ini tentu Anda lihat juga, tikus mati, terburai ususnya, terkapar di tengah jalan. Kalau tikusnya baru saja mati, entah karena tergilas mobil saat menyeberang atau memang sengaja dilempar orang ke tengah jalan, maka bau amis darah yang membuat seisi perut kita serasa mau keluar, akan tercium sangat kuat.
Bangkai tikus itu tergeletak di jalan itu hingga berhari-hari, tiada seorangpun yang hendak membuangnya. Terkadang ia sedemikian pipihnya, lebih mirip dendeng. Tinggal digoreng. Terkadang ia tergeletak di pinggir jalan, menggelembung, membusuk, penuh belatung, juga membuat mual.

Begitulah ulah kita, para warga kota. Kita ini sangat manja. Seperti selokan yang penuh sampah, walau di depan rumah sendiri, kita tak peduli. Walau rumput liar sudah menyemak, atau tumbuh di pinggir selokan yang berpotensi menghambat jalan air, kita tak ambil pusing. Demikian pula dengan bangkai tikus itu, kita biarkan saja di sana.

Pertanyaan menari-nari dalam kepala. Saya coba mencari jawabannya. Ketemu! Ternyata ini karena pemerintah kota sudah menyediakan tenaga harian lepas yang secara berkala datang membereskan itu semua. Segala sampah yang menyumbat selokan, segala rumput yang tumbuh di tempat yang tak diinginkan, dibuang habis. Setelah itu, alangkah senang mata memandang, jalan bersih, selokan bebas sampah dan bangkai tikus tak ada di tengah jalan.

Bisa jadi karena sudah ada pihak yang menanganinya, kita jadi manja. Tak mau repot-repot mengurusi segala urusan kotor-kotor itu. Pantas saja, imbauan untuk bergotong royong Minggu pagi dari mirkofon masjid, dianggap angin lalu. Kan sudah ada yang ngurus!

Berhubung sekarang sudah mulai sering turun hujan, agaknya buruh harian lepas spesialis bersih-bersih got, ditambah jumlahnya. Ditambah pula gajinya, jam kerjanya, wilayah kerjanya, plus penghargaan lainnya. Warga kota terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mencari uang, uang, uang. Mencari perhatian, jabatan, popularitas, blablabla... Tak ada waktu untuk gotong-royong mengorek selokan, membuang bangkai tikus, ataupun mencabut rumput liar.
Pak Wali, buruan, tolong kirim pasukan penyelamat itu. Kami semua sedang sibuk!

2 komentar:

  1. Wah buk...sibuk tapi masih sempat tuk berkaya ya???

    BalasHapus
  2. ini uneg-uneg yang bisa bikin sakit kepala kalau tidak dituliskan..begitulah....

    BalasHapus