Selasa, 17 Februari 2009

Busana Boleh Melayu tapi Aurat Tetap Diumbar

Bila saya dapat giliran mengantarkan si Sulung Lira (kelas satu SD) ke sekolah pada Hari Jumat, ia akan saya suruh duduk di boncengan sepeda dengan model menyamping. Bukan duduk seperti para lelaki berboncengan. Gaya duduknya mengangkang.

Mengerti dan dapat membayangkan kan maksudnya?

Mengapa Hari Jumat ia harus duduk dengan posisi menyamping? Karena ia hari itu mengenakan pakaian Melayu yang terdiri dari baju kurung longgar dan rok panjang. Sering ia mengenakan jilbab pula. Duuh, cantik dan ayunya gadis kecilku itu...

Tapi sejak hari pertama mengenakan seragam melayu itu, ia tak kuperkenankan duduk ngangkang seperti laki-laki, walaupun hampir seluruh temannya duduk seperti itu. Dan rasanya bagi orang yang mengendarai, duduk ngangkang juga lebih stabil. Rasa percaya diri mengendara jadi bertambah.

Pada papanya, pagi-pagi aku mengomel ketika mendudukkan anaknya seperti itu di bangku belakang sepeda motornya.

"Jangan, kalau pakai seragam melayu begini, Rara harus duduk menyamping atau sekalian di depan, biar roknya tak perlu diangkat tinggi-tinggi."

Si Papa akhirnya mengerti dan mengikuti aturan ini.

Pemandangan murid-murid sekolah mulai dari SD hingga SMA di Pekanbaru, setiap hari Jumat adalah duduk ngangkang di boncengan sepeda motor. Entah untuk apa rok panjang itu dikenakan kalau hanya akan diangkat tinggi-tinggi agar bisa duduk ngangkang di boncengan.

Tadi siang saya kembali melihat pemandangan seperti itu lagi. Walau ini baru Selasa, ternyata ada sekolah yang memang berseragam rok panjang. Pas saya dan suami melintas di depan sekolah itu, kami melihat seorang siswi mengangkat roknya tinggi-tinggi agar dapat duduk ngangkang.

"Tuh, lihat satu lagi contoh buruk generasi kita!" kataku jengkel. Naik spaning.

"Itu biar gaya aja tuh!" suami nyeletuk.

"Biasanya ya," aku mengompori dengan sirik, "Anak-anak yang banyak gaya di jalanan itu, berasal dari keluarga pas-pasan. Jadi biar terlihat keren dan menutupi kekurangan ekonomi itu, mereka bergaya sok modern di jalanan. Hah!"

"Jangan sewot gitu dong, santai aja."

"Makanya si Rara aku larang duduk ngangkang seperti itu. Sudah bagus pakai rok panjang dan sopan, kok malah duduknya seperti itu," sambungku lagi.

Aku heran, kenapa para orangtua tidak merasa risih anak gadisnya duduk di boncengan seperti itu. Seolah tak rela dimuliakan oleh Allah agar tak sama derajatnya dengan binatang yang tak punya pakaian, mereka menelanjangi diri sendiri di depan khalayak ramai.

3 komentar:

  1. I enjoy your post :) great nice 4u and drop :) smile 4u http://publicvaluer.blogspot.com/ :) http://baganbatublog.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Bukan hanya di Pekanbaru saja, di Bandung pun saya sering lihat (terutama anak2 SMP-SMA Margahayu) banyak siswi yang memakai rok panjang + kerudung tapi dibonceng motor sambil ngangkang & mengangkat rok, jadinya kan percuma berkerudung tapi kelihatan betis & paha

    BalasHapus
  3. Untuk persoalan ini, sepertinya orangtua dan para guru harus turut mengajarkan nilai-nilai moral ini pada anak-anak kita. Menutup tubuh secara pantas, bukan karena kewajiban di sekolah, atau takut pada orangtua, tapi lebih kepada penghargaan pada diri sendiri dan tentu saja menjalankan perintah agama bagi yang Muslim. terima kasih sudah mau membaca blog ini, adybocherski, :)

    BalasHapus