Jumat, 13 Februari 2009

Istana Kerajaan Gunung Sahilan Menunggu Janji dan Tuah Sakti Para Petinggi

Menyebut istana kerajaan, mungkin orang langsung membayangkan bangunan kokoh yang lebih kurang sama dengan Istana Siak. Namun pemandangan yang amat kontras ditemukan di Gunung Sahilan, Kampar Kiri. Istana peninggalan Kerajaan Gunung Sahilan ternyata wujudnya sangat memprihatinkan.
Udara masih cukup sejuk pagi itu saat kami sampai di lokasi. Terletak sekitar 70 km arah utara Pekanbaru, Kecamatan Gunung Sahilan dapat ditempuh dengan kendaraan umum Pekanbaru-Taluk Kuantan via Lintas Tengah. Namun untuk mencapai lokasi istana, kita masih harus menyusuri jalan sepanjang lebih kurang enam kilometer ke arah pedalaman, masuk dari daerah bernama Kabun Durian.
Ketua Pemuda Kecamatan Gunung Sahilan Edi didampingi tokoh pemuda Gunung Sahilan lainnya, Intoni, menemani kami menuju sisa-sisa istana itu. Kami terkesima saat tiba-tiba sudah berada di depan istana. Yang hadir di depan kami adalah sebuah rumah panggung dari kayu, beratap seng penuh karat, dinding yang mulai dimakan rayap di sana-sini, pintu yang tergembok dari luar, dan banyak kotoran kambing berserakan di terasnya.
Halamannya seluas lebih kurang 10x5 meter, ditanami rumput jepang yang terlihat kurang terawat. Tak ada pot-pot bunga di sana. Kosong melompong. Secara keseluruhan, kesuraman yang mencekam terasa menyelimuti istana itu. Dalam hati kami tergurat kesedihan dan kepedihan. Mengapa harus seperti ini? Sungguh, ini jauh di luar bayangan kami. Apalagi bila membandingkan dengan Istana Siak di Kabupaten Siak Sri Indrapura.
Azirman, juru kunci yang juga masih terbilang keluarga kerajaan, tinggal di sebelah istana ini. Istri Azirmar, si Sar adalah cucu dari Yang Dipertuan Gadis Putri Intan, anak dari Tengku Hasyim yang beristri Putri Sari Negeri. Putri Intan wafat dalam usia 105 tahun pada 1887 lalu.
Memasuki istana ini, kami merasakan lantai kayu yang dingin, kotor oleh pasir, dan hawa yang lembab. Sebuah ruangan berukuran sekitar 11x5 meter terbentang di hadapan kami. Ruang kosong tanpa ada meja kursi dan lain sebagainya. Di arah kiri pintu masuk, menjorok agak ke depan, berdiri sebuah tempat tidur besi jaman dulu, lengkap dengan kasur dan bantalnya.
“Di sinilah Putri Intan dulu tinggal,” kata Azimar kepada kami.
Di sekitar tempat tidur ini disusun sisa-sisa peninggalan kerajaan ini berupa meriam, keramik, tombak, payung kerajaan, dan alat makan minum. Pada awal Ramadhan, meriam ini masih diletuskan sebagai tanda masuknya bulan suci umat Islam itu.
Di Pekanbaru, tepatnya di rumah salah seorang keturunan raja Gunung Sahilan, Tengku Raflan, masih tersimpan beberapa peninggalan kerajaan lainnya seperti beraneka stempel dari tembaga dengan berat dan ukuran yang beragam dan beberapa keris pusaka.
Beberapa lembar foto yang dibingkai dan digantung di dinding istana. Sayang, tidak ada keterangan apa-apa di bawah foto-foto itu seperti siapa yang difoto, dalam peristiwa apa, tahun berapa dan sebagainya. Sebuah foto memperlihatkan sultan terakhir kerajaan ini yaitu Tengku Sulung tengah berfoto bersama para khalifah, bertarikh 1905.
Khalifah sama arti dan fungsinya dengan duta besar. Mereka merupakan perwakilan kerajaan di daerah lain. Secara berkala mereka akan dipanggil pulang ke Gunung Sahilan untuk membicarakan banyak persoalan, termasuk soal kelangsungan kerajaan di masa mendatang.
Ada lima khalifah di kerajaan ini, yaitu Khalifah Kampar Kiri bergelar Datuk Besar, Khalifah Kuntu bergelar Datuk Bandaro, Khalifah Batu Sanggan bergelar Datuk Godang, Khalifah Ludai bergelar Datuk Maharajo Besar, dan Khalifah Ujung Bukit juga gelar Datuk Bandaro.
Menurut Azimar lagi, dulunya bangunan istana ini berukuran sekitar 12x16 meter persegi, terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang pertemuan, kamar-kamar dan dapur. Namun beberapa tahun yang lalu dilakukan pemugaran oleh pemerintah. Sayang, bentuknya dinilai kaum adat tidak sesuai dengan bentuk istana yang mereka kenali dulu. Salah satu perbedaan yang menyolok dan langsung dapat dikenali adalah bentuk rumah panggung yang berubah menjadi bukan rumah panggung. Walhasil, bila kita hendak masuk ke istana hasil pemugaran melalui istana asli, maka kita harus menuruni dulu empat anak tangga yang cukup terjal.

Bertalian dengan Kerajaan Pagaruyung
Dalam sejarahnya, Kerajaan Gunung Sahilan berhubungan kekerabatan sangat erat dengan Kerajaan Pagarruyung di Sumatera Barat. Raja-raja yang memerintah di Gunung Sahilan adalah keturunan langsung dari Raja Pagarruyung.
Menurut H Munirjunu Dt Bandaro, seorang Khalifah di daerah Ujung Bukit Kampar Kiri, dalam alampape Minangkabau ada enam kerajaan yang diakui secara sah, yaitu Kerajaan Gunung Ibul di Kampar Kiri yang dipimpin oleh putra Tuanku Zulkarnain Alexander bernama Syailendra bergelar Sultan Rajo Mahadirajo.
Kerajaan kedua bernama Andiko 44 di Muara Takus, Kampar, dipimpin oleh Rajo Ampek Balai. Kerajaan ketiga bernama Kerajaan Priangan di daerah Padang Lagundi Setinggi Duduk atau Padangpanjang, Sumatera Barat. Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Raja Mahadirajo yang pindah dari Gunung Ibul.
Di sini dihadirkan tiga raja besar yaitu Sultan Raja Alif atau Raja Bandaruhung yang wilayah kekuasaannya dimulai dari Mekkah hingga ke India dan Pakistan. Raja kedua adalah Sultan Raja Dompa yang berkuasa di Dataran China dan terakhir Sultan Raja Mahadirajo. Ketiga raja besar ini merupakan saudara kandung.
Raja Mahadirajo kemudian digantikan oleh Rajo Bukit Mas dengan gelar Dt Perpatih dan Sebatang. Di sini, mereka menggunakan adat yang bersandi syarak dan anak-anak mengikuti suku ibunya.
Sementara Sultan Raja Dompu bergelar Rajo Ketemanggungan dimana anak-anak mengikut suku bapaknya. Wilayah kekuasaannya adalah seluruh daerah yang terkena air pasang dan surut.
Kerajaan keempat bernama Kerajaan Kuntu Kampar Minangkabau Timur, sekitar abad IV M, dengan raja bernama Rajo Darah Putih. Ia kemudian digantikan oleh Adityawarman, putra Bundo Kanduang atau disebut juga Puti Petok atau Puti Jenggo. Kerajaan ini kemudian dipindahkan ke Sumatera Selatan dan bernama Sriwijaya.
Kerajaan kelima bernama Kerajaan Koto Minang, berdiri sekitar abad IV M dengan raja Puti Lindung Bulan. Kerajaan ini pindah ke Pagarruyung dan dipimpin oleh Adityawarman selama lebih kurang 50 tahun.
Terakhir, barulah berdiri Kerajaan Gunung Sahilan di Kampar Kiri. “Kerajaan ini berdiri pada tahun alif Hijriyah, itu berarti, usianya sekarang sudah 1.428 tahun, sesuai dengan tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW,” jelas Dt Bandaro.
Wilayah kekuasaannya terhampar mulai dari Sialang Berlantak Besi Muara Langgai (Rantau Taras) sampai ke Batang Durian Dipakuk Raja (Pangkalan Kapas).
Tak Pernah Dijajah Belanda
Suatu hari pada tahun 1901, Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Besar Sultan Daulat, bersama lima khalifahnya menghadap Belanda di keresidenan Bengkalis. Ia ingin bernaung di bawah pemerintahan Belanda. Syaratnya, Belanda berpagar besi, Kampar Kiri berpagar adat. Kesepakatan ini tertulis dalam Piagam Kuntu yang hingga saat ini konon masih disimpan di Belanda.
Melalui kesepakatan ini maka Kerajaan Gunung Sahilan tetap memiliki kekuasaan atas negerinya, berdaulat, dan diakui oleh Belanda. Semua hukum adat yang selama ini diterapkan kerajaan tetap dapat diberlakukan. Bahkan pihak Belanda setiap tahun memberikan kupon hadiah bagi masyarakat Gunung Sahilan.
“Masyarakat Gunung Sahilan tak tahu apa itu penjajahan karena mereka memang tidak pernah dijajah. Bagi mereka sama saja kondisinya, berada di bawah naungan Belanda atau tidak,” jelas Tengku Raflan, salah satu keturunan kerajaan yang saat ini menetap di Pekanbaru.
Hubungan yang mesra ini hingga kini masih dapat dilihat bekas-bekasnya, antara lain sebuah rumah panggung yang masih berdiri kokoh dan terus dimanfaatkan warga. Karena ini pula, muncul istilah Khalifah ‘van’ Ludai atau Khalifah van Ujung Bukit, sebagai bukti bahwa eksistensi para duta kerajaan ini memang diakui pihak Belanda.
Dilanjutkan Tengku Raflan, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Raja Gunung Sahilanlah yang lebih dulu mengirim telegram ke Jakarta untuk menyatakan diri bergabung dengan NKRI. “Lebih duluan Gunung Sahilan ketimbang Siak menyatakan bergabung dengan RI, tapi sayangnya kami tidak memiliki bukti apa-apa tentang hal itu,” katanya.
Tengku Gazaly dengan gelar Putra Mahkota dinobatkan sebagai calon pengganti raja sebelumnya pada 15 Juli 1941. Ia tidak sempat naik tahta karena kerajaan keburu menyatakan diri bergabung dengan NKRI.


Hukum Adat Masih Berlaku
Walaupun terlihat memprihatinkan, namun peran Istana Dalam di Gunung Sahilan masih mencengkeram kuat dalam sendi-sendi kehidupan rakyatnya. Antara lain, sebagai tempat bermusyawarahnya para ninik mamak se Kampar Kiri. Setiap Ramadhan, pada hari pertama para ninik mamak dan tokoh masyarakat wajib untuk shalat Tarawih di dalam istana ini. Demikian pula pada hari ke-15 dan malam takbiran.
“Prosesi adat ini masih berlangsung hingga hari ini. Contohnya, pada malam takbiran, para ninik mamak akan datang ke Istana Dalam, takbir di sana bersama-sama. Setelah itu, rombongan dibagi menurut sukunya masing-masing. Mereka kemudian berpencar melakukan takbir ke setiap rumah warga yang bersuku sama. Setelah itu, mereka berkumpul kembali di istana.
“Gong pertama dipukul sebagai tanda memanggil, gong kedua dipukul tanda semua sudah berkumpul dan gong ketiga dipukul saat rombongan ninik mamak ini diarak ke Sungai Kampar Kiri untuk ‘balimau’. Demikian pula saat Idul Fitri, semua ninik mamak melakukan Shalat Ied di istana. Dan pada hari kedua, kami sebut dengan Hari Raya Adat karena semua ninik mamak berkumpul kembali di istana.”
Adat istiadat yang dijalankan secara turun temurun hingga hari inipun masih terus diterapkan. “Orang yang dianggap telah bersalah secara adat, akan mendapatkan hukuman adat, misalnya, saat ia mengadakan doa menyambut hari baik bulan baik, orang kampung tak akan datang, tidak menjawab tegur, tidak menghadiri undangan, dan yang paling tinggi adalah tidak didatangi saat malam takbiran. Bagi kami tak ada malu semalu itu,” jelas Zulkifli, masyarakat Ujung Bukit. Hukum ini menurutnya akan berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Karena itulah, orang lebih suka membayar denda walaupun dengan seekor kerbau, asal tidak mendapat hukum adat yang amat memalukan ini.
Sehubungan dengan janji Bupati Kampar Burhanuddin yang akan membangun Istana Dalam menjadi istana termegah di Riau pada 2008 nanti, para khalifah, ninik mamak dan keturunan Kerajaan Gunung Sahilan sangat berharap janji ini dapat direalisasikan. Apalagi mengingat hingga sekarang istana ini masih sering difungsikan untuk bermusyawarah oleh para tetua adat.
“Kami juga berharap kalau selesai direhab, fungsinya sebagai tempat bermusyawarah tidak bergeser. Jangan direhab bila tujuannya semata untuk wisata budaya,” harap Dt. Bandaro.
Di atas itu semua, keturunan keluarga kerajaan Tengku Raflan mengatakan, “Saya tak berkecil hati kalau istana itu tidak seperti istana lain yang lebih megah. Lebih penting bagi saya adat istiadat kami terus dijalankan hingga hari ini.”
Bentuk pertama Istana Dalam ternyata lebih kurang seperti rumah lontiak. Istana Dalam yang tersisa saat ini di Gunung Sahilan memiliki bentuk yang berbeda dengan istana pertama ini. Gambar istana pertama ini ditemukan di Belanda dan sekarang sedang dipelajari. Bila renovasi istana jadi dilaksanakan 2008 nanti, para ninik mamak dan keluarga kerajaan akan berunding untuk menentukan bentuk mana yang akan dibangun.

3 komentar:

  1. bagaimana caranya mau berhubung sama Tengku Raflan di pekanbaru?

    BalasHapus
  2. saya mau tanya,apa benar bpk T.Raflan penerus istana gunung sahilan,yang saya dengar ada penerus istana langsung dari Tengku Haji Abdullah yang dipertuan sakti yang istrinya ada empat. Baniyah,leah,limah dan Talinap. Anda bisa tau informasi ini dengan telp ke hp:T.Shahril 085278104124

    BalasHapus
  3. @zafuan: tulisan ini sudah cukup lama saya buat, dan kala itu, bapak T Raflan menetap di Pekanbaru.

    @Doni: terima kasih informasinya. Setahu saya dan juga orang-orang di sekitar istana, memang bapak T Raflanlah penerus istana itu...

    BalasHapus